PADA Tepas itu, selain “altar dan pasar”, Romo Mangun juga melukiskan, Gereja Indonesia sebelum zaman kemerdekaan mirip dengan Gereja Limburg dan Noord-Braband di Negara Belanda.
Limburg dan Noord-Braband letaknya di wilayah Belanda Selatan, dekat dengan perbatasan Belgia. Pusat kota wilayah itu adalah Maastricht.
Di daerah itu, hampir 100% penduduknya Katolik. Hampir semua keluarga Katolik di Limburg dan Noord-Braband, punya anak atau kerabat dekat yang menjadi imam, bruder dan suster.
Banyak yang menjadi misionaris di Asia, Afrika atau Amerika Latin. Imam, biarawan dan biarawati dari Belanda yang bekerja di Indonesia banyak sekali yang berasal dari daerah Limburg dan Noord-Braband ini.
Elisabeth Gruyters dan Romo Van Baer, pendiri Kongregasi Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (CB) juga berasal dari wilayah ini. Elisabeth Gruyters lahir di Leuth. Sampai hari ini, Maastrich juga masih menjadi rumah induk Kongregasi Suster CB.
Menurut Romo Mangun, Gereja Limburg Noord-Braband adalah gereja yang berbudaya agraris. Warga paroki hanya sekitar 50-100 kepala keluarga.
Dipimpin seorang “lurah” (burgermeester), warganya terdiri dari petani kaya, para pembantu, guru, tukang roti, pemilik toko-toko dusun, tukang kayu, tukang batu, pandai besi, apoteker, polisi desa.
Semua bekerja dalam suasana rutin yang jelas dan teratur, dengan pengulangan musim semi, musim panas, musim gugur dan musim salju yang tak pernah berubah.
Begitu terus selamanya. Abadi selalu. Irama paroki ialah irama petani atau guru di sekolah yang yang tenang-damai dalam bekerja, berdoa, dan berpesta.
Dalam istilah Romo Mangun, Gereja model Limburg dan Noord-Braband itu adalah Gereja ala God’s bloeiende wijngaard (kebun anggur Tuhan yang berbunga).
Anak-anak dan remaja di lingkungan demikian, tentu bersekolah di sekolah yang sama. Memakai baju seragam rok panjang corak yang sama. Pastor paroki biasanya sampai meninggal tidak dipindah dari parokinya.
Pekerjaan utama Romo Paroki selain misa adalah membaptis, memberi pengakuan dosa, memimpin doa, mengunjungi umat, terutama yang sakit, dan memimpin upacara pemakaman.
Romo Paroki adalah administrator tunggal. Organisasi paroki yang ada ialah perkumpulan koor. Para ibu kadang mengadakan doa bersama, mengumpulkan barang untuk anak yatim-piatu, dan dana untuk para misionaris kerabat mereka yang bekerja di luar negeri.
Para pria punya perkumpulan prajurit antik tradisional (schuttersgilde) dan musik fanfare (musik tiup). Mereka juga suka minum borrel (miras) di warung-warung.
Pada hari biasa, sesudah menjalankan tugas, para Romo biasanya menghabiskan waktu dengan membaca buku di pastoran yang sepi dan tenang.
Kalau malam Minggu atau Minggu sore sesudah misa, Romo Paroki ikut bersantai dengan umat di warung-warung, sambil main catur atau main kartu.
Gereja Paroki Muntilan
Ketika oleh para misionaris Belanda, model Gereja demikian dibawa ke Indonesia, maka jadilah Gereja seperti Paroki Muntilan atau Ambarawa yang di awal abad lalu menjadi semacam “modifikasi” gereja pedesaan ala Limburg dan Noord Braband.
Gereja dan Pastoran Muntilan yang dibangun pada awal tahun 1900-an berdiri di atas tanah pedesaan dan daerah pertanian yang asri di kaki gunung Merapi.
Keluarga Romo Tanto dan keluarga kami waktu saya kecil masih bisa menikmati asrinya kompleks Gereja Muntilan.
Keluarga Romo Tanto selain tinggal di Jagalan sebelah kampung saya “Koplak” Balemulyo, juga pernah tinggal di Kebonsari, sebelah Susteran Fransiskanes Muntilan.
Kebonsari adalah daerah elite dan “Menteng”-nya Muntilan. Kebanyakan yang tinggal di situ adalah para guru senior sekolah misi Katolik sejak zaman Romo Van Lith.
Setiap rumah di Kebonsari, pasti memiliki halaman yang luas dan bangunan besar yang kokoh khas zaman Belanda. Samping kiri kanan komplek guru yang berdekatan dengan komplek sekolahan-sekolahan Katolik, ada selokan dengan air jernih yang deras mengalir.
Juga, pohon “talok”.
Kalau lagi bernostalgia tentang Muntilan, Romo Tanto selalu menceritakan gemericiknya air Kali Lamat dan selokan yang mengalir di Jalan Kartini samping rumahnya.
“Waktu kecil dulu, kami masih bisa mencari kerang-kerang kecil di selokan depan Sekolah Mater Dei itu,” kata Romo Tanto.
Sampai Romo Tanto masuk Seminari Menengah Mertoyudan tahun 1952, gaya hidup Gereja dan penggembalaan para Romo di Paroki Muntilan, memang tidak jauh-jauh amat dari gereja Limburg dan Noord Braband yang disebut Romo Mangun.
Kegiatan “sekitar altar”, masih mendominasi hidup gereja. Lonceng Gereja Muntilan tiap pukul 5 pagi masih dibunyikan oleh pak koster. Bunyinya nyaring terdengar sampai pasar Muntilan yang jaraknya hampir 2 km.
Bisa dibayangkan, hebatnya kualitas lonceng impor dari Belanda yang dipasang di Gereja Muntilan itu. Kampung Romo Tanto di Jagalan juga punya lonceng kecil yang nyaring untuk memanggil “wulangan” dan doa sore ibu-ibu Kongregasi Maria atau mengantar yang meninggal ke pemakaman.
Jaman sebelum Konsili Vatikan II itu, para imam kalau “ngunjukke mis suci” (mempersembahkan Misa) mesti membelakangi umat. Semua doa dibawakan dalam bahasa Latin.
Kami, anak-anak misdinar, harus bisa menghafal doa “Confiteor” (saya mengaku), Credo (aku percaya), Pater Noster (Bapa Kami) dalam bahasa Latin.
Calon misdinar yang tidak hapal doa-doa itu, dianggap belum lulus dan tidak menjadi misdinar inti. Hanya misdinar inti yang boleh melayani misa pada hari Natal dan Paskah.
Dan hanya mereka yang boleh membawa wiroeg (pedupaan). Misdinar pemula dan belum lulus seleksi, hanya boleh membawa lilin.
Seingat saya, tahun 1950-1960-an itu paroki kami Muntilan tidak punya Seksi Sosial Paroki, Seksi Kerawam, Seksi Bina Keluarga apalagi Seksi Komunikasi Sosial Paroki.
Urusan gereja semua diurus para Romo di pastoran. Kalaupun ada wulangan atau pelajaran agama untuk anak-anak dan remaja, di kampung kami Balemulyo dan kampung Romo Tanto di Jagalan, katekisnya pasti para Bruder FIC.
Mereka datang ke tempat kami dengan jubah putih dan rosario hitam besar yang terjuntai dari ikat pinggangnya. Kami anak-anak selalu terkesima dengan cerita-cerita dari buku Babad Sutji (Cer
ita Suci) yang dikisahkan dengan menarik oleh para Bruder itu. Para Bruder katekis “agung” kami itu, biasanya juga memberi wulangan cerita Kitab Suci dengan kain flanel warna hijau dan gambar-gambar tempel yang menarik.
Itulah yang paling disukai anak-anak dalam wulangan itu.
Orang dewasa dan muda-mudi yang mau jadi Katolik, biasanya diberi wulangan oleh Romo Paroki sendiri.
Katekismus dan Piwulang Tjekak Agama Katulik
Bahan pelajaran agamanya juga sudah jelas, yaitu katekismus singkat dalam bahasa Jawa. Judul katekismus itu “Piwulang Tjekak Bab Agama Katulik” (Pelajaran Singkat Tentang Agama Katolik).
Buku katekismus singkat itu disusun oleh Romo J. Reijnders SJ, Romo Paroki kami di Muntilan, yang juga pernah bertugas di Gereja Santo Antonius Paroki Purbayan Solo, Gereja Maria Assumpta Paroki Klaten, Paroki Kumetiran Yogya dan Kalasan.
Katekismus “Piwulang Tjekak Bab Agama Katulik” sangat populer karena disajikan dengan model tanya-jawab yang mudah dimengerti.
Romo Reijnders tentu tidak menyusun buku katekismus itu dari idenya sendiri. Beliau banyak memakai bahan katekismus Belanda, warisan katekismus Limburg dan Noord-Braband itu.
Sekitar tahun 1965, sesudah pemberontakan G-30S-PKI, Keuskupan Agung Semarang (KAS) menetapkan buku “Piwulang Tjekak Bab Agama Katulik” sebagai buku pegangan pelajaran agama di paroki-paroki.
Melalui Penerbit Kanisius, KAS bahkan lalu menerbitkan versi bahasa Indonesia ketekismus Romo Reijnders itu.
Maklumlah, sesudah Gestok (Gerakan Satu Oktober 1965) pelajaran agama dan permintaan buku Katekismus melonjak drastis.
Katekismus itu jadi buku “best seller” penerbit Kanisius. Dari tahun 1965 sampai 1970, Keuskupan Agung Semarang khususnya Paroki Klaten, Paroki Muntilan dan Paroki Kumetiran “panen raya” babtisan Katolik.
Sesudah PKI dan “onderbouw”-nya dibubarkan oleh Pak Harto, mantan pengikutnya diwajibkan pindah ke agama yang diakui oleh Pemerintah.
Banyak dari mereka yang lalu memilih masuk Katolik. (Berlanjut)