HARI-hari ini, mata dunia sedang tertuju ke Amerika. Tewasnya George Floyd warga kulit hitam karena ditindih lehernya oleh Derek Chauvin seorang polisi Minneapolis, memicu kemarahan besar di mana-mana. Kerusuhan meledak sekurang-kurangnya di 30 kota besar Amerika.
Masa yang marah lalu “run amok” alias mengamuk tak terkendali. Mobil dibakar, bangunan dirusak, toko-toko dijarah. Polisi menjadi sasaran amuk masa. Mereka dianggap biang kerok tewasnya George Floyd. Masa yang beringas menyerang polisi. Mobil-mobil mereka dicegat, lalu dihancurkan dan digulingkan.
Di Atlanta, sebuah stasiun TV merekam seorang polisi yang dikejar sekelompok pemuda yang kalap. Polisi malang itu ditonjok sampai jatuh terjerembab, ditendang, diinjak-injak, ditimpuk batu dan diludahi. Miris sekali.
Menyaksikan kerusuhan “berbau” rasisme di Amerika yang begitu mencekam, medsos kita pun jadi ikut ramai berkomentar. Para ibu jadi saling sahut ketika ada yang mengupload video toko Louis Vuitton di Portland, Oregon dijarah. “Wah, kabar-kabar ya kalau jarahan LV itu nanti dijual di toko online,” kata seorang ibu kepada teman Indonesianya di Amerika sana.
Yah, namanya juga ibu-ibu negeri +62. Mereka tak pernah tertarik pada politik, apalagi pada rasisme. Bagi para ibu yang meriah itu, Louis Vuitton tentu saja jauh lebih mempesona.
Ketika ada foto seorang perusuh yang melempari toko sambil menenteng sepatu Nike, WAG kita pun juga lalu ikut heboh. Gara-garanya, tangan anak muda berwajah Asia itu bertatoo peta Indonesia. Dan memang, orang ini mengklarifikasi bahwa ia lahir di Jawa, walau sekarang sudah menjadi warga negara Amerika.
Seorang teman alumnus SMA Kanisius Jakarta, sempat cerita kalau diskusi panas mengenai “orang bertatoo Indonesia” itu, membuat satu anggotanya yang tinggal di Philadelphia “left” dari grup.
Alasan ia “left group” tidak terlalu jelas. Mungkin ia jadi sensi (sensitive) ketika ada yang melempar pertanyaan, mengapa kelakuan orang Amerika menjarah toko lebih parah dari kelakuan orang Jakarta waktu kerusuhan Mei 1998.
Teman yang tinggal di Philadelphia ini menanggapi, bahwa kerusuhan di Amerika beda sekali dengan kerusuhan Mei 1998. Alasan utama kerusuhan Amerika adalah rasisme, sementara kerusuhan di Indonesia alasan utamanya adalah perut.
Pada kerusuhan Mei 1998, masa yang lapar akibat krismon (krisis moneter) menjadi penjarah. Yang merusak serta membakar toko adalah “preman bayaran”, sementara yang jadi otaknya adalah para “preman politik”.
“Di Amerika, toko dirusak karena orang sebel pada polisi rasis. Beda dong dengan di kita bro,” katanya dengan semangat.
Walau banyak yang setuju dengan pendapatnya ini, namun ada juga beberapa “die hard” WAG yang tidak mengamini begitu saja pandangannya. Teman ini nampaknya jadi sebel dan lalu “left group”.
Bisa jadi ia merasa koleganya di Indonesia susah sekali diyakinkan bahwa kondisi sosial, ekonomi dan “polhukam” Amerika sekarang ini ruwet sekali.
Beda sekali dengan kondisi Indonesia. “Mungkin teman Amrik kita itu lagi “sensi”, entah lagi kena PHK atau bokek gara-gara covid-19. Mana kita tahu,” celetuk seorang teman di grup SMA Kanisius itu.
Kerusuhan rasial karena tewasnya George Floyd telah membuka mata, ada banyak hal yang dalam diri kita yang memang senyatanya sudah rapuh, tak cuma sekedar sensi.
Ketika Trump “bermain” dengan Kitab Suci dan Gereja
Di tengah kerusuhan yang sudah sepekan ini belum mereda, tiba-tiba TV dan media Amerika menampilkan berit: Presiden Trump berfoto di depan Gereja St. John sambil memegang Kitab Suci.
Senin 1 Juni 2020, ketika kita sedang merayakan Hari Lahir Pancasila, Presiden Trump datang ke gereja St. John yang letaknya persis di seberang Gedung Putih. Gereja kecil itu usianya sudah 200 tahun dan selama ini sudah dianggap sebagai “gereja kepresidenan”.
Para Presiden Amerika, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun, pasti datang ikut kebaktian di gereja itu.
Gereja St.John yang letaknya di Lafayette Park depan Gedung Putih, sempat dirusak oleh masa pengunjuk rasa. Beberapa bagian gedungnya hangus terbakar. Temboknya dicorat-coret. Kemarin, Presiden Trump berjalan kaki datang ke Gereja St.John yang agak rusak itu, diiringi jajaran pembantunya: Kepala Staf Kepresidenan Mark Meadows, Ketua Mahkamah Agung Jenderal Bill Barr, Penasehat Gedung Putih Jared Kushner, Menhan Mark Esper dan Sekretaris Pers Gedung Putih Kayleigh McEnany.
Apakah Presiden Trump dan jajarannya datang ke Gereja St.John untuk berdoa? Ternyata tidak. Ia sama sekali tidak masuk ke dalam gereja itu. Apalagi berlutut dan berdoa di depan altar sebagaimana lazimnya orang datang ke tempat suci. Ia cuma berfoto di depan papan nama gereja, menunjukkan Kitab Suci ke tukang potret, lalu mengajak semua stafnya berfoto bersama di depan tangga gereja.
That’s it. Cuma begitu saja.
Karena ia cuma berfoto begitu saja di depan gereja, kritik tajam tentu saja langsung datang bertubi-tubi. Dan seperti biasanya, Presiden Amerika yang terkenal sangat kontroversial ini, cuek-cuek saja menanggapi kritik keras dari siapa pun dan dari belahan dunia mana pun.
Rev. Mariann Budde, Uskup Gereja Episcopal Washington, termasuk orang pertama yang sangat kecewa dengan “ulah” Presiden Trump “berfotoria” di depan gereja yang menjadi wilayah yurisdiksinya itu.
Kepada koran Washington Post, Uskup perempuan pertama dari Gereja denominasi Anglikan ini, menumpahkan kekesalannya karena ternyata Presiden Trump cuma menganggap Kitab Suci dan gereja itu sekedar “backdrop” dari pose fotonya.
Dengan nada keras, Rev.Budde mengatakan: “I am the bishop of the Episcopal Diocese of Washington and was not given even a courtesy call, that they would be clearing [the area] with tear gas so they could use one of our churches as a prop.”
Selain tidak mendapat pemberitahuan, ada hal lain yang membuat Ibu Uskup Budde ini sangat kecewa. Ternyata para pengunjuk rasa damai di halaman dan jalan depan gerejanya itu dihadang polisi dengan semprotan gas air mata.
Sesaat sebelum Trump datang ke Gereja St.John, memang ia berpidato di Rose Garden Gedung Putih. “I am your law and order president,” katanya dengan nada penuh ancaman, menanggapi kerusuhan yang menyebar luas.
Trump siap mengerahkan militer untuk menghentikan keonaran karena unjuk rasa di banyak kota memprotes kematian Floyd. Wali Kota Washington DC, Muriel Bowser, menyebut langkah itu sebagai hal yang ‘memalukan’.
Muriel Bowser, Wali Kota DC itu geleng-geleng kepala tidak habis mengerti, baru beberapa menit kata-kata ancaman itu ke luar dari mulut Trump, tindakan kekerasan kepada para pengunjuk rasa sudah langsung dilaksanakan.
Itu pun dilakukan, sekedar untuk menjamin agar Presiden Trump bisa aman menuju tempat untuk berfoto. Bukan main.
Saat Trump masih berpidato di Rose Garden itu, suara tembakan gas air mata dan peluru karet yang dilepaskan polisi kepada para demonstran yang beraksi damai di Taman Lafayette, bisa terdengar hingga ke halaman Gedung Putih.
Sebenarnya, yang paling membuat Rev. Mariann Budde, Uskup Gereja Episcopal Washington ini jengkel bukan kepalang adalah sikap, gaya dan perilaku Presiden Trump di Gereja St. John hari itu.
Kepada CNN, ia mengatakan kegeramannya:
“Let me be clear: the president just used a Bible, the most sacred text of the Judeo-Christian tradition, and one of the churches of my diocese without permission as a backdrop for a message antithetical to the teachings of Jesus and everything that our churches stand for. We align ourselves with those seeking justice for the death of George Floyd and countless others.
And I just can’t believe what my eyes have seen. I don’t want President Trump speaking for St John’s. We so dissociate our-selves from the messages of this president. We hold the teachings of our sacred texts to be so, so grounding to our lives and everything we do, and it is about love of neighbor and sacrificial love and justice.”
Ketika banyak stasiun TV dan pelbagai media kembali ingin mewawancarainya, Rev.Mariann Budde akhirnya meminta para juru warta itu untuk mengacu saja pada akun Twitternya.
Uskup gereja Episkopalis Washington itu menuliskan demikian pada Twitternya :
- “The President did not come to pray. He did not lament the death of George Floyd or acknowledge the collective agony of people of color in our nation. He did not attempt to heal or bring calm to our troubled land.”
- “The Bible teaches us to love God and our neighbor; that all people are beloved children of God; that we are to do justice and love kindness. The President used our sacred text as a symbol of division.”
Para pemimpin Gereja Episcopal, juga ramai-ramai mendukung sikap Uskup Episcopal Washington Rev. Mariann Budde ini.
Uskup Agung Michael Curry, Primat Gereja Episcopal terang-terangan menuduh Presiden Trump telah menggunakan gereja dan Kitab Suci untuk tujuan politik partai.
Ia menambahkan: “For the sake of George Floyd, for all who have wrongly suffered, and for the sake of us all, we need leaders to help us to be “one nation, under God, with liberty and justice for all.”
Sementara itu, Unio Nasional para Imam gereja Episcopal, juga menyatakan sikap mereka mendukung Uskup Washington.
Tidak ketinggalan Rev.Greg Brewe, Uskup Episcopal Keuskupan Central Florida juga berkomentar:
“I am shaken watching protestors in Lafayette Park gassed and cleared so that the President of the United States can do a photo. This is blasphemy in real time.” (Berlanjut)