BELAJAR dari keterpurukan sudah biasa terjadi di mana pun. Bangkit dari kejatuhan, pernah dilakukan oleh siapa pun.
Tidak hanya oleh orang Itali dan orang Indonesia. Tidak hanya oleh pesepakbola Itali dan pebulutangkis Indonesia.
Gereja kita pun, selama berabad-abad juga akrab dengan sejarah keterpurukan, bahkan kejatuhan.
Aggiornamento
Konsili Vatikan II digelar karena keterpurukan itu sudah tak tertahankan lagi. Mukjizat terjadi ketika Paus Yohannes XXIII, entah digerakkan oleh roh apa, memutuskan untuk memanggil Konsili.
Dengan Konsili, tuntutan perubahan lalu jadi aksi.
Kalau tidak, cuma jadi basi. Paus Yohannes XXIII merasa, Gereja kita ini sudah sangat pengap. Pintu dan jendelanya mesti dibuka lebar-lebar, agar angin segar itu masuk.
Sudah sekian lama wajah Gereja kita muram. Sudah sekian lama, Gereja tinggal di rumahnya yang nyaman.
Dunianya sebatas “istananya”, liturginya, dogmanya, hukum Gerejanya.
Tiba-tiba, ia menjadi “makluk” asing. Kita nyaris tidak bergaul menyapa dunia. Para “tetangga” yaitu masyarakat yang hidup dan berjuang mati-matian di dunia nyata, jadi tidak mengenal kita lagi.
Syukurlah, Paus Yohannes XXIII, papa bonus, bapak yang baik hati itu menangkap tanda-tanda zaman ini.
Kalau Gereja tidak mau terus terpuruk, ia harus berubah.
Kalau Gereja masih mau “dianggap” oleh dunia dan masyarakatnya, ia harus diperbaharui.
Perubahan dan pembaharuan itu dalam istilah Paus Yohanes XXIII adalah aggiornamento.
Tanda-tanda zaman
Istilah “tanda-tanda zaman” sendiri, sebenarnya sudah sering dipakai di lingkungan teologi Katolik sebelum Konsili Vatikan II digelar.
Istilah ini mengacu pada sabda Yesus dalam Injil Matius dan Lukas.
- “Pada petang hari, karena langit merah, kamu berkata: hari akan cerah; dan pada pagi hari karena langit merah dan redup, kamu berkata: hari buruk. Rupanya langit kamu tahu membedakannya, tetapi tanda-tanda zaman tidak.” (Mt 16:2-3).
- “Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai zaman ini ? Dan mengapakah engkau juga tidak memutuskan sendiri apa yang benar?” (Lk 12:56-57).
Menjelang Konsili Vatikan II dibuka tahun 1962, Paus Yohannes XXIII menerbitkan dokumen resmi Humanae Salutis.
Dalam dokumen yang diterbitkan tepat pada hari Natal tahun 1961 itu, Paus Yohannes XXIII juga mengutip kata-kata “tanda-tanda zaman” dari Mt 16:3 ini, dalam menegaskan salah satu alasan mengapa Konsili yang baru perlu diadakan.
Empat dokumen “tanda-tanda zaman”
Secara eksplisit, ada empat dokumen Konsili Vatikan II yang mencantumkan istilah “tanda-tanda zaman” ini, yaitu :
- Presbyterorum Ordinis (Dekrit tentang Kehidupan para Imam) no.9;
- Apostolicam Actuositatem (Dekrit tentang Kerasulan Awam) no.14§2;
- Unitatis Redintegratio (Dekrit tentang Ekumenisme) no.4;
- Gaudium et Spes (Konsitusi tentang Gereja dalam dunia modern) no.4.
Biasanya, kalau berbicara tentang tanda-tanda zaman atau signa temporum, dalam Konsili Vatikan II, para teolog mengacu pada GS no.4 ini.
Dikatakan di sana:
“Untuk menunaikan tugas seperti itu, Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil.
Demikianlah Gereja – dengan cara yang sesuai dengan setiap angkatan – akan dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan, yang di segala zaman diajukan oleh orang-orang tentang makna hidup sekarang dan di masa mendatang, serta hubungan timbal balik antara keduanya.
Maka perlulah di kenal dan difahami dunia kediaman kita beserta harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dan sifat-sifatnya yang sering dramatis.”
Tanda-tanda zaman dari dunia olah raga
Mengacu pada pesan para Bapak Konsili dalam dokumen GS artikel 4 itu, keadaan dunia sekarang yang paling dramatis, ya apa lagi kalau bukan pandemi Covid-19 ini.
Para pemain bola, para atlit, para pemain bulutangkis, kita puja-puja karena mereka juara.
- Lawan mereka jelas. Tim azzurri Italia, pada final Euro-2020 mengalahkan Inggris lewat drama adu penalti.
- Lawan Greysia dan Apriyani di final ganda puteri bulutangkis adalah Chen Qing Chen dan Jia Yi Fan. Pasangan ganda puteri China ini adalah peringkat kedua dunia versi IBF.
Meski berstatus non-unggulan, Greysia-Apriyani sukses menumbangkan pasangan China itu dengan skor 21-19 dan 21-15.
Lha kalau musuh kita sekarang bernama Covid-19, bagaimana melawannya?
Menang dalam pertandingan, mensyaratkan pelbagai hal. Mengalahkan wabah covid, musuh dunia nomor satu sekarang ini, meminta banyak: manusianya, etos kerjanya, kemajuan negaranya, kualitas pemerintahnya, strateginya, kerjasamanya, dananya, kemajuan medisnya dan seabreg persyaratan lain.
You name it.
Walau sebagai korban Covid-19, Indonesia dan Itali sama-sama pernah juara dunia, namun membandingkan prestasi sepak-bola dan prestasi olimpiadenya, kedua negara itu sama sekali tidak sebanding.
Dalam sepakbola, kita semua tahu, Itali pernah menjadi juara dunia empat kali: tahun 1934, 1938, 1982 dan 2016. Mereka juga menjadi finalis pada tahun 1970 dan 1994.
Itali menjadi “langganan” peserta Piala Dunia Sepakbola.
Sepanjang gelaran sepakbola Piala Dunia, Itali sudah 18 kali mengikuti.
Sementara Indonesia boro-boro juara dunia. Lolos ikut putaran piala dunia saja belum pernah.
Punya penduduk terbanyak ketiga di dunia, ternyata sama sekali tidak menjamin kita bisa berprestasi dalam sepakbola dan banyak olahraga lain.
Dari 29 kali gelaran olimpiade sejak diselenggarakan pertama kami di Athena, Itali hampir selalu ikut serta. Hanya pada olimpiade pertama di Athena (1896) dan ketiga di St. Louis (1904) Itali tidak berpartisipasi.
Selama 27 kali keikutsertaan dalam olimpiade, Itali selalu mendapatkan medali emas.
Dari jumlah medali yang diraih, Itali selalu masuk dalam urutan 10 besar negara yang paling berprestasi dalam olimpiade.
- Medali emas terbanyak, yaitu 14, pernah diraih Itali pada Olimpiade Los Angeles tahun 1984.
- Pada olimpiade Anversa (1920), Roma (1960), Atlanta (1996) dan Sydney (2000) Itali merah 13 medali emas.
- Pada Olimpiade Tokyo bulan lalu, Itali mendapatkan total 40 medali.
Jumlah medali terbanyak yang pernah diraih Itali dalam ajang olimpiade.
Dari 40 medali itu, 10 di antaranya adalah medali emas. Total selama 27 kali keikutsertaan dalam olimpiade, Itali telah meraih 618 medali: emas 217, perak 188 dan perunggu 2013.
Sementara Indonesia pada Olimpiade Tokyo “cuma” mendapatkan 5 medali: 1 emas, 1 perak, dan 3 perunggu.
Itali bertengger di posisi 10 perolehan medali akhir. Indonesia pada posisi 55.
Tentu prestasi olahraga sebuah negara, bisa menjadi salah satu indikasi prestasi kekuatan sebuah negara serta kesejahteraan manusianya.
Semakin maju sebuah negara, biasanya semakin maju pula prestasi olahraganya.
Menentukan indeks kemajuan, indeks pendidikan, indeks kesejahteraan, bahkan indeks kebahagiaan sebuah negara, biarlah itu menjadi urusan mereka yang berkepentingan.
Ketika dunia sedang terpukul dengan pandemi Covid-19 ini, inspirasi kebangkitanlah yang paling kita butuhkan.
Tim sepakbola Itali yang pernah tersungkur, dobel bulutangkis puteri Indonesia yang selama ini redup, atlit-atlit dunia seperti Suni Lee, Tamberi dan Barshim yang pernah cidera menjadi juara, sangat menginspirasi.
Para pesepakbola dan para atlit itu bukan hanya olahragawan. Mereka juga para pejuang di tengah pandemi. Hampir separuh pemain sepakbola Itali juara Euro-2020 pernah terpapar Covid-19.
Para olahragawan itu di masa pandemi ini menginspirasi karena mereka bangkit. Mereka mau bangkit dari keterpurukan. Mereka menemukan cara yang baik untuk bangkit.
Mereka menemukan pelatih dan tim yang membuat mereka bangkit. Dan karenanya mereka juara. (Berlanjut)