MENSIS horribilis. Bulan mengerikan Juli 2021 lalu itu jelas bukan hanya angka.
- Bukan pula hanya sekedar informasi bahwa penyebab tingginya lonjakan korban pandemi adalah varian baru Delta.
- Bukan hanya berita kehabisan stok oksigen.
- Bukan pula hanya berita rumah-rumah sakit kewalahan sampai buka tenda darurat menampung pasien baru, hingga rumah isolasi mandiri (isoman) lalu dibuka di mana-mana.
Mensis horribilis menjadi bulan horror. Karena di depan kita tersaji kisah-kisah pilu yang menguras rasa.
Foto mobil-mobil jenazah berderet-deret antri menunggu giliran di pemakaman. Para penggali kubur yang kelelahan. Tayangan mereka yang tak terbaring tak berdaya di halaman rumah sakit yang penuh sesak.
Semua itu telah menjadi potret sesungguhnya pergumulan kita melawan wabah yang berkepanjangan ini.
Pemerintah mengakui cukup kewalahan mengatasi Covid-19 varian Delta yang begitu cepat menyebar.
Dalam upaya menekan lonjakan kasus covid-19, Presiden Jokowi menetapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
PPKM Darurat itu ditetapkan berlaku dari 3 hingga 20 Juli 2021.
Karena penyebaran Covid-19 bukannya mereda malah meningkat, Presiden lalu memperpanjang PPKM Darurat menjadi PPKM Level 1-4. Berlaku dari 22 Juli sampai 2 Agustus 2021.
Bulan Juli lewat.
Virus covid-19 ternyata masih ganas. Yang terpapar angkanya masih tetap tinggi. Terpaksalah, pemerintah memutuskan melanjutkan penerapan PPKM level 4, dari 3-9 Agustus 2021 di beberapa kabupaten dan kota.
PPKM level 4 bahkan kemudian diperpanjang sampai 16 Agustus 2021.
Gara-gara Covid-19, hubungan kekerabatan juga jadi gamang, bahkan ternoda. Berita sedih saudara atau kenalan yang terpapar covid berseliweran setiap hari.
HP kita “kecentrang kecentrung” dikirimi berita kenalan yang meninggal karena Covid-19.
Pilunya, kita hanya bisa mengirim penghiburan “basa-basi” dan tak bisa datang melayat. Banyak saudara-saudari kita itu meninggal sendirian.
Jenazah dibungkus seadanya, dikebumikan tanpa kehadiran orang-orang terkasih dan tanpa iringan doa yang layak.
Melayat sendiri dan itu pun dijauhi keluarga
Pada mensis horribilis 20 Juli, adik kandung saya meninggal di Muntilan. Ia meninggal karena penyakit kanker hati yang sudah dideritanya bertahun-tahun. Meninggal bukan karena Covid-19.
Adik saya nomor lima datang melayat sendirian. Isterinya tidak ikut, karena hari itu isterinya sudah kehilangan indera penciuman. Diduga ia sudah positif kena Covid-19.
Sampai rumah, adik saya itu menghibur ibu yang sedang berduka kehilangan anak perempuannya. Ia mencoba meneguhkan ibu sambil memeluk-meluk.
Melihat adegan itu, adik-adik saya yang lain begitu khawatir dan memasang wajah tidak senang.
Adik saya itu lalu “dijauhi” oleh saudara-saudarinya sendiri. Mau ngajak ngomong saja selalu dihindari.
Mereka sangat tidak rela ibunya dipeluk-peluk orang yang isterinya ada indikasi sudah terkena covid.
“Gimana kalau ibu sampai kena Covid-19? Usia ibu sudah hampir 90 tahun. Rentan sekali. Isterinya kehilangan penciuman, pasti kakak kita itu sudah kena. Pasti itu,” kata seorang adik saya dengan omongan super sengit.
Gara-gara Covid-19, adik saya yang baik ini hari itu rasanya seperti “orang kusta” dalam kisah narasi Injil yang harus dijauhi karena najis.
Semua gara-gara Covid-19.
Oh my God, OMG! Oh mégat-mégot.
Makan hati, makan perasaan, makan emosi, itulah dampak Covid-19 yang sangat menonjol sekarang ini.
Rasa takut merebak di mana-mana. Rasa khawatir melanda siapa pun.
Takut dan khawatir itu bahkan terkadang sudah pada taraf yang sangat lebay, sangat berlebihan.
Dalam kekalutan sekarang ini, kita tidak bisa menyalahkan siapa pun.
Maklumlah, sudah divaksin dan sudah menjaga diri dengan masker berlapis saja, kita masih bisa terpapar Covid-19.
Sudah mencoba meningkatkan imun dengan menenggak segala macam vitamin, Covid-19 sialan itu masih juga bisa menyerang.
Masih bisa mematikan.
Orang juga sudah terlanjur mendapat info meyakinkan bahwa varian Delta yang baru ini begitu mudah menular.
Kita jadi tidak tahu lagi, siapa menulari siapa. Kita tidak tahu lagi, lingkungan mana yang benar-benar steril.
Rasanya benar-benar sudah tidak ada.
Pagebluk ini sungguh menakutkan. Seorang teman yang semalam diminta sharing pengalamannya selama kena Covid-19 hanya mengatakan, “Kalau bisa, kalian jangan pernah kena Covid-19 deh.”
Kiat sederhana yang mudah diomongkan. Namun sulit dilakoni sekarang ini.
Para sahabat meninggal di mensis horribilis
Selama masa pandemi yang tak kunjung henti ini, entah sudah berapa saja kelompok zoom yang mengajak kita berdoa.
Doa masa pandemi yang disusun oleh Bapak Kardinal Suharyo, bahkan sudah menjadi doa rutin keluarga kami.
Setiap ada misa atau ibadat, doa itu selalu kami doakan. Selama 20 bulan pandemi melanda, sudah tak terhitung lagi, berapa kali kita berteriak mégat-mégot kepada Tuhan.
Seruan “Dhuh Gusti midhangetna panyuwun kawula – Tuhan dengarkanlah permohonan kami ini” terus kita doakan tanpa henti.
Keluhan “Oh my God, oh my God”, OMG, OMG kepada-Nya, entah sampai kapan akan terus kita teriakkan.
Seorang teman, beberapa hari lalu japri ke saya.
Ia menceritakan mégat-mégot-nya dengan sangat emosional :
“Ediyaaaaan… tenan. Hari ini, aku kelangan kanca, sedulur enam ekor. Ngimpi apa aku semalam? (Gila bener. Hari ini aku kehilangan enam orang teman dan dan saudara. Mimpi apa daku ini semalam)?.
Mégat-mégot, OMG-nya ditutup dengan emoji wajah menangis.
Kini bukan lagi “angka”
Seperti teman ini, kita pun juga tidak kekurangan berita sedih yang membuat kita berteriak OMG.
Ketika wabah ini datang awal tahun lalu, mereka yang terpapar dan yang meninggal rasanya tidak ada yang kita kenal.
Mereka hanyalah sekedar orang dan angka yang diberitakan. Namun akhir-akhir ini, mereka yang terpapar bahkan meningga, ternyata adalah keluarga, saudara, kerabat, teman, tetangga, dan orang yang kita kenal baik.
Dulu, HP kita menceritakan orang lain yang menjadi korban Covid-19. Sekarang, HP kita penuh berita dengan teman-teman kita sendiri, yang sakit atau meninggal karena Covid-19.
Awal Juli 2021 mensis horribilis it diawali dengan berita duka meninggalnya dalang kondang Ki Manteb Sudarsono. Almarhum tutup usia pada Jumat 2 Juli 2021 dalam usia 73 tahun.
Ki Manteb Sudarsono meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumahnya: Dukuh Suwono, Desa Ndomplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Gara-gara Covid, dunia pewayangan kehilangan dalang besar, sosok legendaris yang sangat hebat dalam sabetan (keterampilan memainkan wayang).
Dalang-dalang muda sekarang banyak yang terinspirasi oleh gaya sabetan Ki Manteb.
Awal Juli itu juga, grup WA SMA kami memberitakan meninggalnya teman A. Tukiman Widyahadi Seputra. Ia meninggal karena Covid-19. Katanya, ia belum sempat divaksin. Dua hari kemudian, isterinya Ny. Maria A.Naniek Supartilah menyusul. I
steri Widyahadi juga meninggal karena Covid. Tidak sampai 48 jam, Covid-19 telah merenggut nyawa teman kami pasangan suami-isteri Widyahadi-Naniek.
Widyahadi, teman yang murah senyum ini, menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai Pengurus Komisi PSE-KAJ. Ia menjadi karyawan PSE yang baik, tekun dan setia.
Dalam 100 hari, Merto-72 kehilangan dua orang teman yang meninggal karena Covid-19. Sementara selama beberapa bulan pandemi, angkatan kami Merto-73 kehilangan empat orang teman.
Para imam kita yang meninggal pada bulan Juli, mensis horribilis ini juga terhitung cukup banyak.
Berita duka bulan Juli diawali dari Bandung. Keuskupan Bandung pada tanggal 1 Juli kehilangan imam diosesan seniornya Romo Yohanes Baptista Sahid Pr.
Romo Sahid meninggal karena Covid-19 pada usia 81 tahun. Tahun 1970-an beliau pernah bertugas di Muntilan. Sebelum wafat, beliau menulis memoir kecil. Semacam puisi doa yang indah, yang menunjukkan kematangan imannya dan kesiapannya menerima kematian.
Keuskupan Agung Jakarta, pada 11 Juli kehilangan Romo FX Suherman Pr, imam diosesan kelahiran 18 Juli 1969. Romo Suherman masih tergolong muda. Ia pernah menjadi mahasiswa kuliah teologi saya ketika di STF Driyarkara.
Umat dan teman-temannya mengenal Romo Herman sebagai imam yang sungguh menghayati janji: wadat, mlarat, mbangun turut (selibat, miskin, taat). Janji yang mesti dilaksanakan oleh setiap imam, apa pun “merek”-nya.
“Tidak ada jam mewah di tanganmu atau mobil mewah yang kamu kendarai,” kata seorang temannya dari Seminari Menengah KAJ Wacana Bakti mengenang kesederhaaan hidup Romo Suherman.
Keuskupan Agung Semarang serta Keuskupan Pangkalpinang menambah deretan para imam projo yang meninggal pada bulan Juli, mensis horribilis itu.
Pada akhir bulan Juli, Keuskupan Agung Semarang kehilangan dua imam diosesannya. Yang pertama Romo YBL Subagio Atmodiharjo Pr yang meninggal pada 23 Juli.
Yang kedua Romo Christianus Sugiyono Pr. Ia meninggal 29 Juli.
Keduanya meninggal di RS Elisabeth Semarang. Keduanya meninggal karena Covid-19 dan komplikasinya.
Sementara bulan Juli mensis horribilis ditutup dengan berita duka meninggalnya Romo FX Hendrawinata Pr, imam diosesan Keuskupan Pangkalpinang.
Romo Hendra, mantan Vikjen Keuskupan Pangkalpinang yang ramah, suka bercanda dan baik hati ini, meninggal pada 31 Juli.
Beliau meninggal dalam usia 72 tahun karena penyakit kanker.
Imam Ordo dan Konggregasi yang meninggal pada bulan Juli mensis horribilis ini, ada tiga orang, yaitu Romo Sarto Mitakda SVD, Romo Herbert Henslok SCJ dan Romo Andreas Yuniko Poerdijanto SJ.
Almarhum Romo Sarta Mitakda SVD kelahiran Saumlaki di Maluku Tenggara pernah bertugas di Paroki Kranji, Bekasi. Ia meninggal di RS Carolus pada 5 Juli 2021. Romo Henslok meninggal di Timika Papua pada 19 Juli. Sedangkan Romo Andre meninggal di RS Elisabeth Semarang pada 29 Juli.
Ketiganya meninggal karena terpapar Covid-19.
Sepantaran dengan Romo Suherman, Romo Andreas Yuniko Poerdijanto SJ ini juga masih muda.
Romo Andre yang pernah berkarya di Pakistan dan terakhir menjabat sebagai minister Kolese Stanislaus Girisonta ini meninggal dalam usia 53 tahun.
Para Suster yang dipanggil Tuhan pada bulan Juli juga cukup banyak. Hampir semuanya meninggal karena terpapar covid-19.
Ada dua Suster Ursulin yang dipanggil Tuhan pada mensis horribilis bulan Juli, yaitu Suster Alexis Soedibjo OSU dan Suster Anita Boenardi OSU.
Suster Alexis Soedibjo OSU wafat dalam usia 79 tahun pada 15 Juli 2021. Begitu banyak orang menangisi kepergiannya.
Santa Maria dan Perkumpulan Strada tidak akan melupakan sumbangsih dan pelayanan Suster Alexis OSU Pada misa requiem mengenang kepergian Suster Alexis OSU, lebih dari 1.000 orang peserta mengikuti zoom misanya.
Luar biasa.
Belum lima hari Suster Alexis berpulang, Ordo Suster Ursulin kehilangan Suster Anita Boenardi OSU yang meninggal pada 20 Juli dalam usia 79 tahun.
Dari Konggregasi Suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus, yang meninggal sepekan sebelum bulan Juli tiba adalah Suster Arini Sri Sukarti CB.
Suster Arini CB adalah tante Romo Petrus Tunjung Kusuma Pr, imam diosesan KAJ. Ia meninggal dalam usia 77 tahun di RS Panti Rapih Yogya.
Pada bulan Juli 2021, para Suster OSF juga kehilangan Suster Mariana OSF dan Suster Josea OSF.
Konggregasi Suster Sang Timur (PIJ) juga kehilangan empat susternya pada bulan Juli mensis horribilis ini.
“Dalam dua pekan ini, empat suster Sang Timur (PIJ) wafat karena Covid-19”, demikian berita yang tersebar di hampir semua WA grup Katolik.
Disertakan juga foto-foto dari para Suster PIJ yang meninggal itu. Antara lain Suster Anna Marie PIJ.
Pada foto ketiga Suster PIJ lainnya disebutkan tanggal meninggalnya: 14, 24, dan 25 Juli 2021.
Dari Konggregasi Suster Penyelenggara Ilahi (PI), Suster Grabriella PI, kakak kandung dari teman kami Merto-73: Dr. St. Sugiyanto. Almarhumah juga dipanggil Tuhan. Hampir semua suster itu, meninggal karena Covid-19. (Berlanjut)