KEBIASAAN ngerumpi, ngegosip, ngrasani atau ngglendhengi, rupanya juga menjadi perhatian serius Paus Fransiskus.
Menurut pendapat saya, satu-satunya Paus yang paling sering bicara mengenai gosip dan kebiasaan nggosip, ya cuma Paus Fransiskus ini. Para Paus sebelumnya rasanya tidak ada yang begitu getol bicara mengenai kebiasaan ngerumpi.
Begitu seringnya Paus Fransiskus bicara mengenai gosip, jangan-jangan Paus kita ini memang sudah sangat jengkel dan prihatin menyaksikan domba-dombanya terkena penyakit akut “suka ngegosip”.
Apa yang sebenarnya dikatakan Paus Fransiskus tentang gosip dan ngegosip itu? Ketik saja kalimat “Pope Francis on gossip” di mesin pencari Google. Dalam waktu 0.42 detik, “Eyang Google” menyajikan 3.200.000 item tentang hal ini. Luar biasa.
Beda sekali dengan penemuan Google kalau saya mengetik misalnya “Didi Kempot Katolik”. Dalam waktu 0.38 detik, “cuma” ditemukan 240.000 tautan.
Dan info atau penjelasan khusus Didi Kempot dibaptis kapan, di gereja mana, oleh Romo siapa, tercatat di buku baptis paroki mana, tidak saya temukan.
Di pilihan-pilihan awal, yang muncul adalah artikel dari Majalah Hidup tentang Didi Kempot yang mendapat penghargaan dari Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia atas dedikasinya dalam dunia musik juga pesan-pesan keragaman dan kebangsaan yang selalu ia gaungkan setiap tampil di panggung.
Apakah penghargaan dari para Wartawan Katolik ini secara implisit artinya mengakui Didi Kempot itu juga Katolik? Saya tidak menemukan artikel di Google mengenai hubungan wartawan Katolik dan DK.
Gosip itu kanker ganas
Saya sendiri terus terang kaget sekali, Paus Fransiskus menyebut gosip itu parahnya seperti kanker ganas, bahkan bisa disamakan dengan tindakan teroris yang mengerikan itu.
Mosok sih, begitu seramnya. Jangan-jangan Paus ini lebay (berlebihan) dalam menyikapi “dosa ringan” yang namanya ngegosip itu.
Media resmi Vatikan Rome Report, memang mencatat pesan Paus Fransiskus pada audiensi umum 25 September 2019. Ketika itu Paus memang mengatakan kalau gosip itu “diabolical cancer”, kanker ganas.
Pada pelbagai kesempatan, seperti pada pertemuan di Gereja Ratu Rosario Suci dengan para imam, seminaris, para suster, dokter, perawat dari Komunitas Mother Teresa di Tejagon Dhaka, Paus Fransiskus juga menyinggung soal ngerumpi ini.
Kata Paus: “Fratelli e sorelle! Quello che distrugge una comunità è parlare male degli altri, sottolineare i difetti dell’altro, ma non dirli a lui, dirli a un altro, e così creare un ambiente senza pace con divisione.
Mi piace definire questo spirito delle chiacchiere come terrorismo. Perché quello che va a parlare male di un altro, non lo dice pubblicamente.
Perché il terrorista non dice pubblicamente: sono un terrorista! Quello che va a parlare male di un altro, tira la bomba e se ne va. E la bomba distrugge, lui va tranquillo a tirare un’altra bomba.
Quando avete voglia di parlar male di un altro, mordetevi la lingua. Così non farete danno ai vostri fratelli e sorelle”.
(Saudara dan saudari yang terkasih, yang bisa menghancurkan komunitas kita adalah bicara jelek tentang yang lain, ngomongin kekurangan orang lain, bilang “jangan ngomong-ngomong ke dia ya” padahal kemudian ia ngomong begitu ke orang lain lagi.
Dengan demikian orang semacam itu tidak menciptakan damai di lingkungan kita melainkan perpecahan. Saya suka mendifinisikan kebiasaan menyebarkan gosip semacam itu sebagai perilaku terorisme.
Bagaimana tidak. Bicara jelek tentang orang lain itu tidak pernah dinyatakan terbuka di depan umum. Ngomong jelek itu biasanya kan ngomong saja, lalu pergi. Bom meledak dan menghancurkan. Ia pergi dengan enaknya sambil menebar bom lagi di tempat lain.
Saudara-saudariku, saya berpesan: kalau kalian mau bicara jelek tentang orang lain, kuncilah lidah anda. Dengan demikian anda tidak melukai hati sesama kita).”
Benarkah ngegosip itu jahat?
Apakah ngerumpi atau ngegosip itu memang cela yang sangat serius seperti yang dikatakan Paus Fransiskus? Nanti dulu.
Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan pada jurnal Social Psychological and Personality Science menjelaskan lebih mendalam tentang kebiasaan ini. Peneliti menemukan bahwa setiap orang setidaknya menghabiskan waktu 52 menit per hari untuk bergosip. Banyak orang berbagi informasi tentang orang-orang yang tinggal di sekitar mereka.
Menurut penulis studi, definisi gosip adalah membicarakan orang lain yang tidak hadir. Maka, bergosip menurut definisi ini, tidak harus tentang menyebarkan rumor jahat atau cerita memalukan, melainkan bisa sekadar berbagi informasi.
Menurut definisi pada studi ini, kita sudah bisa disebut ngegosip kalau mengatakan pada orang lain bahwa pekan depan sepupumu akan menikah, teman dekatmu memulai kerja baru, atau anak perempuanmu akan ikut perlombaan tari.
Bergosip juga seringkali dipandang sebagai perbuatan licik dan tercela. Maklum, biasanya ngegosip itu tindakan yang bertujuan untuk menjatuhkan orang lain.
Ternyata, bergosip memiliki nilai dan manfaat sosial. Jadi ngegosip itu tidak jelek-jelek amat.
Hal ini diungkapkan oleh Yuval Harari, seorang sejarawan Israel.
Dalam bukunya yang berjudul Sapiens : A Brief History of Human Kind, Harari menulis kalau bergosip memiliki fungsi penting dan fondasi dalam keselamatan manusia modern atau homo sapien.
Menurut Harari, tidak cukup bagi pria dan wanita hanya mengetahui di mana singa dan bison berada. “Bagi mereka, lebih penting untuk mengetahui siapa yang membenci siapa, siapa yang tidur dengan siapa, siapa yang jujur dan siapa yang pembohong,” tulisnya.
Melalui informasi-informasi yang diilustrasikan di atas, dengan kata lain gosip, manusia purba dapat mengetahui siapa yang dapat mereka percaya dan siapa yang sebaiknya dihindari untuk bisa selamat dan mengembangkan suku mereka.
Selain itu, Harari juga berkata bahwa bergosip ternyata juga melekat dalam identitas manusia. Sebab, manusia dapat belajar melalui gosip untuk membentuk persahabatan dan hirarki yang kemudian menjadi aturan dan kooperasi sosial yang membedakan manusia dari binatang.
Kecenderungan gampang menghakimi
Di Roma dulu, saya bersahabat dengan Sunardi, seorang Frater Jesuit yang tinggal di Collegio del Gesu. Oleh Pater Provinsial Jesuit Indonesia, Sunardi ditugaskan belajar Islam di Pontificio Istituto di Studi Arabi e d’Islamistica (PISAI).
Sunardi pernah saya ajak ngobrol dengan Romo Tom Michael SJ, mengenai tema dialog antaragama dari tesis saya.
Saya ingat, di depan Romo Tom, yang bertugas di Kantor Komisi Dialog Antar Agama Vatikan, Sunardi bilang: “Sakjane mas, daripada memilih tema dialog yang sudah sering dibahas, dari sisi teologi dogmatis bidang studi njenengan, akan lebih kena dan berguna kalau nanti pulang nggarap tema murtad. Di Indonesia, belum ada lho mas yang jadi ahli murtad. Di PISAI, tema inipun kurang dibahas, padahal secara pastoral dan dogmatis, tema itu sangat relevan di negara kita.
Romo Tom Michael juga sependapat dengan Sunardi.
Dari banyaknya netizen yang menggunjingkan agama almarhum Didi Kempot, saya jadi ingat pesan teman saya Sunardi ini. Tentu di negara kita sekarang ini, pindah keyakinan agama itu konteksnya tidak lagi jaman penganiayaan atau persekusi seperti yang dialami oleh umat Kristen perdana.
Sekarang ini lebih banyak bentuknya pindah agama karena perkawinan, karena ditawari pangkat atau kedudukan lebih tinggi. Banyak juga yang “terpaksa” pindah agama karena pertemanan, sekolah dan lingkungan kerja. Kalau dari Katolik pindah ke Gereja lain, biasanya istilahnya adalah pindah gereja.
Sebenarnya akan sangat bermanfaat untuk mengambil kebijakan pelayanan umat, kalau ke depan setiap Paroki dan Keuskupan memiliki data yang baik mengenai pindah agama dan pindah gereja ini.
Selain data, tentu yang harus menjadi refleksi kalau kita ngerumpiin teman kita yang pindah keyakinan atau pindah Gereja, adalah sikap dasar kita dalam menilai persoalan hidup.
Jangan-jangan di balik hebohnya teman-teman Katolik di medsos ngerumpi pada 505 yang lalu, sebenarnya ada kekurangan dasar kebanyakan umat kita dalam menghayati iman.
Jangan-jangan ini adalah ungkapan “positioning umat Katolik” senyatanya yang sekarang ini lebih peka pada “simbol” daripada “esensi”, yang gampang menyambut “bungkus” daripada “isi”, yang lebih suka hal-hal sekitar “altar” daripada “pasar”.
Karenanya, kalau ada orang Katolik ditunjuk menjadi menteri atau pejabat tinggi, diangkat menjadi jenderal berbintang atau menjadi selebritis ngetop, kita ikut-ikutan bangga dan senang.
Dengan mudahnya, kita lalu bisa berkatekese: “Tuh, mestinya jadi orang Katolik yang bener itu seperti dia itu.”
Sebaliknya, kita lalu menjadi “gagap” kalau orang yang kita idolakan itu ternyata mengecewakan. Kalau nggak ada orang Katolik yang masuk Kabinet, kita jadi ikut-ikutan menggerutu.
Kita jadi kecewa, kalau ternyata idola kita yang Katolik atau Kristen itu cerai dari pasangannya atau punya isteri baru. Kita terkejut kalau ada tokoh Katolik yang ditangkap KPK dan masuk bui.
Pada hari 505 itu, seorang teman Facebook saya, menuliskan dengan baik keresahannya : “Kira-kira kalau nanti saya mati, ada yang nanya ngga ya ‘Ririn itu agamanya apa? Menikahnya cara apa?’ Atau itu hanya berlaku untuk orang top aja?”.
Kegalauan teman ini, saya rasa mewakili kegalauan sebagian besar umat kita sekarang ini.
Dalam ngegosip atau ngerumpi, tentu unsur menilai “ad modum recipientis” sangat berlaku. Persoalan menjadi lebih serius kalau dari penilaian yang terbatas itu lalu timbul sikap menghakimi. Terhadap hal menilai yang kemudian menjadi hal menghakimi, saya sangat menyetujui apa yang dikatakan oleh Mgr. Fulton Sheen, katekis legendaris idola umat Katolik Amerika.
Pada buku God Loves You, salah satu buku yang sudah menjadi klasik dan masterpiece, Uskup Fulton Sheen mengatakan
- We men and women are not wise enough nor innocent enough to judge each other. And the only decision we can rightly make about our brother who is doing wrong is to admit it and to say: “We will leave him to God.”
- When we judge others, we also judge ourselves. Our Lord asked us not to judge, lest we be judged ; and sometimes the judgment we make of others is in itself a condemnation of our own faults. When one woman calls another “catty”, she reveals that she knows what cattiness involves.
- Traditionally, all gossips are women ; but men are often guilty of the same offense. They call it “judging”.
Nasihat Mgr. Fulton Sheen ini, semoga bisa meredam kecendungan kita yang suka ngegosip dan menghakimi. Kalau biasanya yang “dituduh” suka nggosip adalah perempuan, Mgr. Sheen mengingatkan para pria juga punya kesalahan yang sama (atau malah lebih berat), yaitu: suka menghakimi.
Kita tidak pernah tahu kenyataan saudara kita yang sebenar-benarnya kalau ada yang menikah lagi, memutuskan meninggalkan Gereja.
Sama seperti kita tidak bisa tahu pasangan yang kelihatannya harmonis, padahal rumah tangganya hancur. Kita hanya bisa menundukkan kepada dan berdoa. “We will leave him to God,” kata Mgr. Fulton Sheen. (Berlanjut)