BAHKAN biara kontemplatif pun tidak imun dari ‘serangan’ medsos, termasuk di dalamnya kabar-kabur dan berita bohong (hoax). Ini secuplik ringkas pengalaman Sr. Laetitia OSCCap, seorang suster biarawati rubiah Kapusines (OSCCap) dari Singkawang, Kalimantan Barat.
Itulah yang diomongkan Sr. Laetitia, biarawati kelahiran tahun 1962, di sela-sela lokakarya tentang seluk-beluk dunia media sosial (medsos), hoax, dan media massa mainstream yang berlangsung di Wisma Immaculata di Kompleks Susteran SFIC tak jauh dari lokasi Gereja Katedral Pontianak, tanggal 29-31 Mei di Ibukota Kalbar ini.
Tentu saja, pengalaman di balik tembok biara sebagaimana dialami oleh Sr. Laetitia OSCCap di Singkawang ini boleh dibilang ‘sedikit’ dibanding misalnya dengan para suster biarawati non kontemplatif yang dalam kesehariannya boleh menenteng aneka gadget. Yang terakhir merupakan secuplik pengalaman Sr. Romana Valentina SFIC, suster biarawati medior SFIC yang beberapa tahun lalu telah mengucapkan kaul triprasetya kekalnya.
Suster berdarah Dayak ini mengisahkan dirinya sering dibuat ‘pusing tujuh keliling’, ketika HP-nya tanpa ba-bi-bu lagi selalu kemasukan ‘serbuan’ kabar-kabur –termasuk di dalamnya berita bohong (hoax)—yang isinya menganggu suara hatinya. Tidak hanya ragam bahasanya yang dirasa ‘aneh’, melainkan terutama pesan yang muncul di balik rentetan kalimat tersebut.
Sr. Romana Valentina SFIC ini bingung ketika harus menentukan sikap: apakah informasi sesaat yang ‘mampir’ di HP-nya itu layak dikirim-bagikan kepada kolega para suster lainnya atau tidak. Sekali waktu, kata dia, ia langsung mengirim aneka informasi itu kepada beberapa kawan suster satu tarekat. Namun, hanya dalam beberapa menit kemudian, sebaran informasi yang dia kirim-bagikan itu dibantah oleh suster lainnya seraya mengatakan: “Itu kabar bohong alias hoax.”
Bingung menentukan sikap
Bingung harus menentukan sikap dan juga tidak tahu bagaimana bisa membedakan apakah informasi itu valid kebenarannya atau tidak alias bohong rupanya menjadi persoalan serius bagi para suster biarawati, bruder, frater, dan imam yunior di Kalimantan Barat ini. Belum lagi, persoalan ‘tidak tahu’ itu belakangan ini malah semakin menjadi-jadi usai hingar-bingar polemik yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta.
Dalam konteks sosial politik yang amat relevan itulah, Pastor Amandus Ambot OFMCap –Minister Provinsial Kapusin Provinsi Pontianak bersama beberapa rekan provinsial lainnya dari komunitas para suster dan bruder di Pontianak—mulai merancang ide cemerlang. Yakni, sebuah program acara ongoing formation bagi para imam, bruder, suster yunior-medior. Kali ini, topik bahasannya ada di ranah luar spiritualitas. Yakni, tentang hal-ikwal yang terjadi di ‘dunia ramai’ dan kali ini yang paling relevan adalah membahas seluk-beluk dunia medsos, hoax, dan media massa kategori mainstream.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Forum Kerjasama Religius Kalbar (FKRK) itulah, Pastor Amandus OFMCap lalu menggulirkan gagasan tersebut kepada kolega para provinsial dari komunitas para suster, imam, dan bruder lintas tarekat.
Dan ternyata gayung pun bersambut. Respon positif dari segenap para provinsial lintas tarekat dari komunitas suster, bruder, dan imam di Pontianak dengan antusias menyambut gembira gagasan tersebut. Hanya beberapa bulan pasca Perayaan Tahun Baru, maka ketok palu pun segera terjadi.
Program ongoing formation bagi segenap imam, bruder, dan suster lintas tarekat religius Pontianak ini pun akhirnya menemukan bentuk konkritnya: pembahasasn tentang medsos, hoax, dan media massa kategori mainstream akan digelar di akhir Mei 2017.
85 orang peserta
Hawa panas yang terjadi di Pontianak di musim kemarau ini sungguh tak menyiutkan semangat para suster, bruder, frater, dan sejumlah imam muda untuk datang melangkah ke Wisma Immaculata di Kompleks Susteran SFIC di Jl. AR Hakim, Kota Pontianak.
Tercatat ada sebanyak 85 orang peserta –semuanya kaum religius— terdiri dari para frater dan imam muda anggota Ordo Fransiskan Kapusin (OFMCap) Provinsi Pontianak, bruder MTB, para suster biarawati dari aneka tarekat religius yakni Kongregasi SFIC, Fransiskanes Sambas (KFS), SMFA (Suster Misi Fransiskan Santo Antonius – Pontianak), PRR, Passionis, OSA, para suster rubiah Kapusines (OSCCap) Singkawang, dan frater MSC.
Lokakarya yang diprakarsai Forum Keluarga Religius Kalbar (FKRK) ini diampu oleh dua narasumber, kebetulan keduanya datang dari Jakarta.
Penulis, penggiat Gerakan Words2Share sekaligus Pemred Sesawi.Net mengisi hari pertama dengan dua sesi pertemuan dengan pokok bahasan tentang dunia medsos, kiat mencermati hoax, dan seluk-beluk media massa kategori mainstream. Sementara, Pastor Oky OFM akan membahas topik lain dari perspektif religiusitas.
Di sesi pertama, penulis bicara panjang lebar tentang situasi sosial politik di Indonesia pasca Pilkada DKI Jakarta dimana semakin terang-benderang konstelasi tatanan masyarakat kita berdasarkan preferensi agama. Lalu dibahas tentang gencar dan massifnya ‘serangan’ virtual dari berbagai kelompok yang menyusupkan berbagai informasi sesat dan bohong. Semuanya itu tak terelakkan juga ikut masuk ke dalam tembok biara, pastoran, frateran, susteran, dan bruderan.
Pendek kata, kini kaum berjubah pun sudah tidak ‘imun’ lagi terhadap rembesan berbagai informasi sesat dan kabar-kabur bohong ini. Menjadi lebih menyedihkan lagi, ketika para kaum berjubah ini tanpa sikap kritis malah ikut berpartisipasi membagi-serbakan hoax kepada sesama anggota tarekat religius dan umat, tanpa pernah berfikir dampak psikologis maupun sosial yang muncul karena sebaran kabar-kabur bohong tersebut.
Kalau semua orang lantas dengan mudah terpicu menjadi paranoid, lalu pertanyaannya semua itu terjadi karena ‘salah’ siapa.
Pada titik simpul inilah lalu muncul pertanyaan lanjutannya: bagaimana kita bisa mengambil sikap terhadap massifnya serbuan berbagai macam informasi; sebagian informasi itu ada yang benar, namun banyak pula yang bohong alias hoax?
Merespon kebutuhan ini sekaligus memberi paparan guna mengambil sikap bijak atas serangan massif berbagai informasi di aneka gadget tersebut, penulis memaparkan beberapa ciri yang bisa dideteksi apakah informasi itu valid kebenarannya atau hanya bersifat ‘imaginer’ dan hasil othak-athik gathuk dari penulisnya –entah siapa.
2,5 jam berjalan mulus tidak terasa. Itu karena topiknya relevan dan membumi berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis sebagai penggiat medsos dan jurnalis. Belum lagi, topik bahasan tentang dunia media massa kategori mainstream yang –menurut penulis– harus menjadi ‘kompas’ atau arah referensi utama guna bisa mencek apakah aneka informasi di jalur medsos itu valid kebenarannya atau tidak.
Makan enak ala Pontianak sudah tersaji di refter (kamar makan) Susteran SFIC dengan menu lodeh ikan tuna, sayur terong asam, ca kangkung, plus sambal terasi yang luar biasa enak dan pedas. Refter Susteran SFIC menjadi wahana bagi para suster, bruder, frater, dan imam lintas kongregasi ini untuk kemudian bisa lumer bergaul tanpa sekat usia, status, tugas pastoral, dan kongregasi/ordo.
Semua merasa sebagai ‘satu saudara’ dalam iman, satu semangat dalam misi pengutusan Gereja untuk mewartakan Kabar Gembira dan berita baik kepada sesama orang beriman dan masyarakat.
Respon kita sebagai anggota Gereja
Pada sesi pertemuan kedua, penulis bicara tentang tiga hal penting. Yakni, sikon dunia yang serba cepat berubah karena perkembangan teknologi informasi, Gereja Katolik yang terus belajar dari pengalaman dan refleksi, dan sikap transformatif hirarki dalam merespon situasi zaman sebagaimana telah ditunjukan oleh para Bapa Suci.
Ketiga topik pembahasan itu diramu dengan paparan tentang dunia jurnalistik dan seluk-beluknya. Bahasan ini disajikan, baik menurut konsep teoritik maupun pengalaman pribadi penulis sejak tahun 1995 hingga sekarang sebagai jurnalis dan editor.
Di akhir paparannya, penulis mengajak para peserta untuk mengambil peran positif sebagai anggota umat beriman di Gereja Katolik untuk ikut terlibat aktif dalam misi pewartaan iman.
Mengapa ending-nya berupa sebuah ajakan?
Pada hemat penulis, ending tentang misi pengutusan berupa partisipasi aktif dalam misi pewartaan iman itu menjadi penting justru karena para peserta ini adalah ‘kaum berjubah’. Setiap liturgi perayaan ekaristi selalu berakhir dengan ucapan pastor berisi kalimat pernyataan tentang misi pengutusan dan dijawab oleh segenap umat dengan kata ‘amin’.
Itu artinya, sudah menjadi panggilan setiap orang beriman untuk ikut ambil bagian dalam pengutusan Gereja untuk misi pewartaan iman. Nah, karena sudah dari sono-nya para kaum berjubah itu telah menyerahkan hidupnya bagi Tuhan dan Gereja-Nya, maka pengutusan itu menjadi amat relevan ketika digaungkan kembali pada sesi pertemuan ini.
Pada konteks inilah, penulis mengajak segenap peserta untuk mulai peka dan belajar menjadi ‘wartawan’ seiring dengan makin maraknya konsep citizen journalism yang kini sudah menjadi semacam ‘hobi baru’ di kalangan anggota masyarakat.
Jangan takut dan cemas
Sangat dimengerti bahwa para peserta kaum berjubah ini mengalami gegar budaya dalam menghadapi dunia medsos yang semakin dahsyat merembes masuk ke ruang-ruang privat mereka. Namun kepada mereka, penulis mencoba menyuntikkan semangat ‘jangan takut dan cemas’, karena kita sebagai umat manusia di zaman modern ini memang tidak bisa mengelak lagi dari keniscayaan tersebut: sistem teknologi komunikasi sekarang ini sudah sangat maju dan senantiasa berubah dengan sangat cepat.
“Dunia ada di telapak tangan kita dan kita bisa mengubah ‘wajah’ dunia hanya dengan sekali tekan oleh telunjuk atau jempol jari tangan kita,” demikian kata penulis mencoba memberi ilustrasi.
Menyemangati sekaligus mengajak para suster, bruder, frater, dan imam muda lintas kongreasi/ordo di Pontianak ini untuk semakin bijak dan kritis mencermati medsos menjadi perhatian penulis. Selain tentu saja, juga ajakan penuh harapan agar semakin banyak ‘kaum berjubah’ ini bersedia mulai aktif memerankan diri mereka sebagai penggiat ‘jurnalisme warga’ namun dengan tekanan penting misi pewartaaan iman.
Yang lain-lain sebaiknya jangan; apalagi keinginan terpendam untuk menyemai ambisi bisa eksis diri dan mencari pengakuan publk. Tugas mulia ikut serta dalam misi pewartaan iman sebaiknya jauh dari semua ambisi pribadi ini, karena di sini tujuannya melulu hanya demi Ad Maiorem Dei Gloriam (AMDG) semata.