Home BERITA Pria Lebih Cepat Mati, Saatnya untuk Peduli

Pria Lebih Cepat Mati, Saatnya untuk Peduli

0

DALAM beberapa dekade terakhir ini, perhatian pada persoalan kesehatan para pria tampaknya menurun. Padahal, kasus menurunnnya kualitas kesehatan para pria semakin menaik. Apa yang perlu dilakukan, baik oleh para dokter maupun para pria sendiri?

Kalau bertahun-tahun lalu sampai sekarang balai kesehatan ibu dan anak (BKIA) sangat populer dan digalakkan demi meningkatnya kesehatan para ibu dan anak di Indonesia, tampaknya sekarang ini mungkin perlu ada yang namanya Balai Kesehatan Pria. Seberapa penting langkah itu? Ada masalah apa sebenarnya?

Coba Anda selidiki sendiri di wilayah Anda masing-masing entah itu di kantor, kampung, atau kelompok kategorial yang Anda miliki. Dengan hitungan sederhana, seberapa banyak pria usia di atas 40-an tahun yang masih sehat, kuat dan bugar tanpa ada penyakit sedikit pun.

Mungkin, Anda akan menemukan banyak pria tidak sehat. Setidaknya di sebuah kantor penerbitan, di bilangan Jakarta Barat, dari sepuluh pria usia di atas 40-an tahun yang saya temui, hanya satu yang masih sehat dan bugar entah secara klinis maupun penampakan luarnya.

Hal yang sama juga saya temukan di kampung tempat kelahiran saya, Semarang. Setidaknya dari sepuluh orang pria usia 40 tahun ke atas, nyaris tidak ada yang sehat sempurna. Bahkan sudah ada yang meninggal di usia 40-an tahun karena mengidap penyakit empedu.

Pria Meninggal Lebih Muda
Dalam sebuah simposium nasional mengenai kesehatan pria (National Symposium on Men’s Health Care Toward a Better Quality of Life Through Prevention, Early Detection and Rehabilitation) yang berlangsung di Universitas Diponegoro, Gedung Program Pasca Sarjana ruang Prof. Ir. Soemarman, Semarang beberapa waktu lalu DR. Dr. Rudi Yuwana, Sp.B., Sp.U menyebutkan bahwa perhatian khusus pada kesehatan pria akhir-akhir ini perlu dilakukan karena harapan hidup pria pada umumnya lebih pendek daripada kaum wanita. “Setidaknya selama dekade terakhir ini,” ujar Presiden Indonesian Society for Sexual and Impotence Research (INA-SSIR) atau Perkumpulan Riset Impotensi Indonesia.

Prof. DR.Dr. Soeharyo Hadisapoetra, Sp.PD-KTI, Direktur program paska sarjana Universitas Diponegoro, Semarang bahkan menyebutkan bahwa laki-laki bakal meninggal lebih muda tujuh tahun daripada wanita. Selanjutnya bahkan bisa delapan, sembilan dan seterusnya bila perhatian pada kesehatan tidak pernah ada.

Rudi lalu menambahkan, angka kematian pada semua umur laki-laki lebih tinggi daripada angka kematian wanita. Dan ternyata data yang disampaikan Prof. Soeharyo menunjukkan bukti. Di Amerika, antara tahun 1990 sampai 2000 kejadian serangan jantung pada pria mencapai rata-rata lebih tinggi dibanding wanita. Dan ternyata tidak hanya penyakit jantung yang menempati urutan tinggi. Dalam kasus gagal jantung, rematik, stroke, kanker angka kematian pria tetap lebih tinggi dibanding wanita.

“Sebelum usia 50 tahun , menurut literatur setiap 10 kematian wanita akan diiringi kematian para pria sejumlah 16 orang,” jelas Soeharyo. Kasus yang sama juga terjadi di negara-negara lain. Angka kematian pria tampak lebih tinggi dibanding wanita. Di Cina rasio kematian pria dibanding wanita per 100 ribu populasi akibat penyakit stroke misalnya mencapai 2446/1814. Sementara kasus penyakit infeksi mencapai angka 363/201.

Sementara di Indonesia data persis memang belum ada. Namun data sederhana yang disampaikan oleh PT Askes Regional VI Jawa Tengah dan DIY bisa dipakai sebagai wakil.

Menurut Dr. Veronica Margo S. Mkes, AAK, Manajer Wilayah PT Askes Regio Jateng dan DIY kasus rawat inap akibat penyakit cardiomyopathy (penyakit gangguan panda jantung) di RSUD Karyadi Semarang periode Januari-Juni 2006 mencapai 62 pada pria dan pada wanita 33. Sementara kasus gagal jantung mencapai 117 pada pria dan 79 pada wanita.

Wanita Lebih Peduli
Menurut Rudi, meningginya angka ini terjadi karena para pria ternyata tidak lebih baik dalam memperhatikan persoalan kesehatan dirinya dibanding para wanita.

Berdasar penelitian, lanjut Rudi, para pria ternyata lebih jarang ke dokter atau enggan bila datang ke rumahsakit atau berkunjung ke dokter dibanding para wanita.“Dengan kata lain, para wanita lebih peduli dengan kesehatannya dibanding para pria,” jelas Rudi.

Dr. Sri Harsi Teteki, Mkes dari Yakes Telkom Jateng dan DIY menyebutkan, di Telkom, kerap kali diadakan seminar atau pertemuan yang membicarakan perihal kesehatan. Dan data kehadiran menunjukkan bahwa sebagian besar yang datang di seminar memang didominasi oleh para wanita.

Beberapa pria yang sempat ditanya Gaya Hidup Sehat (GHS) bahkan  menyatakan enggan setiap kali perusahaan memintanya melakukan cek kesehatan. Padahal, semua biaya periksa ditanggung perusahaan. “Kadang rasa enggan itu muncul karena aku gak ingin tahu penyakitku,” jelas seorang pria usia 37 tahun, karyawan sebuah penerbitan.

Pria lain menyatakan enggan karena terlalu repot. “Harus antri. Buang waktu saya, meskipun ada juga manfaatnya sih,” ungkap Yadi, sebut saja demikian.

Lebih dari itu, kebiasaan hidup ( misalnya merokok, minum alkohol, penggunaan narkoba) juga memengaruhi angka ini. Gaya hidup seperti ini tampaknya lebih kerap kita temui pada pria.

“Pria bahkan lebih rentan terhadap kecelakaan kerja maupun lalu lintas. Selain itu ada banyak pekerjaan yang dilakukan pria lebih beresiko dibanding wanita,” jelas Rudi. Sebut saja pekerjaan seperti kuli bangunan, pekerja konstruksi bangunan, penebang pohon, penambangan, balap motor dan mobil, sopir, dan lain-lain.

Karena itu, Rudi menyebutkan, para pria harus mulai memerhatikan dirinya. Setidaknya atau minimal mengikuti peraturan perusahaan dengan melakukan cek kesehatan rutin yang disediakan. Itu merupakan langkah sederhana yang sangat membantu meningkatkan kualitas hidup.

Selain itu, tentu saja memperhatikan beragam standar dan prosedur keamanan yang ditentukan entah itu saat mengendara kendaraan bermotor, bekerja di perusahaan konstruksi atau di tempat lain adalah hal yang wajib dijalankan.

Di sisi lain, para dokter pun perlu melakukan sinergi terutama dalam membicarakan perihal penatalaksanaan yang tepat dan benar mengenai berbagai persoalan kesehatan para pria. Karena semakin banyak persoalan, semakin mendesak pula tindakan tepat guna dan efektif harus dijalankan.

“Saat ini tugas para spesialis adalah menciptakan modul-modul untuk pencegahan dan diagnosa dini mengenai suatu penyakit misalnya program share care untuk penyakit prostat,” ujar Rudi.

Artinya, seluk beluk penyakit ini perlu dibicarakan bersama oleh para dokter dari berbagai disiplin ilmu karena tidak hanya tanggung jawab para ahli urologi saja untuk meneliti persoalan prostat, melainkan juga ahli hormon misalnya.

Demikian juga dengan persoalan disfungsi ereksi. DE dalam hal ini berhubungan erat dengan penyakit-penyakit lain seperti penyakit kardiovaskular, endokrin (hormonal), neurology (saraf), dan proses penuaan.

Sumber : Tabloid gaya hidup SEHAT

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version