DALAM kecapaian plus rasa ngantuk karena efek jetlag usai penerbangan panjang selama 8 jam plus 3 jam 20 menit dari Jakarta menuju Doha dan akhirnya mendarat di Cairo, tiba-tiba saja kesadaran reflektif saya dipacu bangkit oleh paparan rohani yang menarik minat. Itu dikatakan Asmi Arijanto, seorang tour leader dari biro travel dan tur Stella Kwarta dengan pengalaman selama 24 tahun terakhir membawa ribuan para peziarah rohani dengan rute Timur Tengah, Eropa Barat, dan Eropa Timur sekaligus Korea dan Meksiko.
Lima Prinsip S
Usai sepanjang hari mengunjungi Giza menyaksikan saksi sejarah perabadan kuno Mesir yang luar biasa yakni bangunan pyramid dan sphinx yang mendunia dan kemudian Gereja Santo Simon the Thanner yang menakjubkan di sebuah permukiman sangat kumuh, Arijanto menerangkan Prinsip Lima S dalam melakukan ziarah rohani. Kelima Prinsip S ini tidak hanya berlaku ketika melakukan ziarah ke kawasan Timur Tengah saja seperti yang terjadi pada kami kali ini, melainkan juga ketika melakukan wizata ziarah rohani ke berbagai tempat di dunia. Taruhlah itu ke Lourdes di Perancis, Fatima di Portugal, Basilika St. Petrus di Roma dan Katedral Duomo di Milan (Italia), serta tempat-tempat kudus lainnya.
Lima Prinsip S dalam berziarah itu terkait dengan doa atau laku olah diri dan batin selama melakukan wisata ziarah tersebut.
Prinsip pertama adalah Singkat
Selama perjalanan ke berbagai tempat yang menguras waktu dan tenaga, selayaknyalah jangan melambungkan untaian rumusan doa yang panjang-panjang seperti doa umat. Cukuplah doa itu singkat dengan rumusan sederhana saja agar alokasi waktu bisa dimanfaatkan seefektif mungkin.
Prinsip kedua Sederhana
Doa itu selayaknya diucapkan dengan mengungkapkan esensinya namun dirumuskan secara sederhana. Tidak perlu mengucapkan rumusan doa dengan kata-kata puitis layaknya doa umat di gereja. Cukup menggunakan kalimat sederhana, apa adanya, dan langsung menjurus pada sasaran yang bisa mengungkapkan gejolak batin.
Prinsip ketiga Sungguh-sungguh
Ziarah itu ibarat olah batin. Kita diajak mengolah diri untuk beralih ‘kiblat’. Kalau dulu kita masih suka memuja harta dan kekuasaan –misalnya—maka usai ziarah, terjadilah apa yang biasa disebut ‘metanoia’, malih grembyang berubah total ke arah yang ‘sebaliknya’. Orang menjadi lebih ‘rohani’ karena ada semangat baru ingin menata hati dan hidupnya agar semakin beriman kepada Tuhan dan membawa hidupnya menjadi berkah bagi banyak orang.
Jadi, berziarah itu bukan pertama-tama mencari kesenangan batin, rekreasi mencari kesegaran, melainkan perkara rohani yakni kegiatan menata hati, budi, pikiran, perasaan agar semakin bermutu kualitas hidup (spiritual) para pelaku ziarah batin ini.
Prinsip keempat adalah Senantiasa
Pertobatan atau metanoia bukan perkara gampang. Satu-dua hari selesai dan kemudian rampung. Sama sekali tidak. Ini adalah perjalanan hidup nan panjang, karena kemungkinan manusia jatuh dalam dosa itu juga berlangsung seumur hidup.
Santo Ignatius de Loyola –pendiri Ordo Serikat Jesus (Jesuit) dan pemrakarsa Latihan Rohani misalnya—mengatakan dengan sangat jelas dan tegas seperti ini. Di kala manusia jatuh berkali-kali ke dalam dosa, maka pada saat itulah doa-doa semakin banyak dan semakin intensif harus dilakukan. Dan itulah yang terjadi pada Santa Monika, ibunda kandung Santo Agustinus dari Hippo (Afrika Utara) yang ketika muda menjalani hidupnya secara brutal, ugal-ugalan, dan memuja kenikmatan fisik duniawi (hedonis sejati). Namun, berkat doa sang ibundanya yakni Santa Monica, Agustinus dewasa bertobat dan malah akhirnya menjadi Uskup di Hippo dan menjadi orang kudus (santo).
Prinsip kelima adalah Serah Diri
Ini perkara iman yang juga tidak gampang dihayati. Terutama ketika manusia ada di puncak kekuasaan duniawi dan punya kuasa untuk mengatur banyak orang. Kekuasaan politik dan uang (harta) adalah godaan besar bagi manusia untuk bisa berpasrah diri kepada Tuhan.
Barulah ketika manusia terpuruk sakit tidak berdaya atau kekuasaaan hilang darinya atau kemudian jatuh bangkrut dan miskin, pada saat itulah manusia akan tersadarkan bahwa ternyata dia bukan siapa-siapa. Pada saat krisis pribadi itulah, kita lantas disadarkan bahwa harapan dan iman kepada Tuhan itu bisa menjadi energi batin yang luar biasa guna mendongkrak martabat dan harga diri manusia. Baik di hadapan sesama dan apalagi Tuhan.
Manusia menghadapi kematian dengan perasaan hancur lebur. Bahkan ketika sakit pun, demikian pendapatr Dr. Elisabeth Kübler-Ross, ketika sudah mulai memasuki dan berada dalam situasi-situasi batas (Grenzsituationen), maka biasanya manusia hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan Sang Pemberi Kehidupan. Iman dan harapan kepada Tuhan itulah yang biasa hanya bisa dilakukan orang ketika didera putus asa, sakit tak berkesudahan, dan aneka penderitaan batin dan fisik lainnya.
Ziarah rohani kemana pun kita pergi menuju ke tempat-tempat kudus itu sejatinya ingin mengingatkan kita pada Lima Prinsip S tersebut. Dalam bahasa Latin ada istilah penting yang cocok di sini In finem omia (IFO) –semua tertuju pada satu hal penting: menuju pada Tuhan, Sang Pencipta dan Pemberi Kehidupan bagi semua mahkluk yang hidup di alam semesta ini.
Ziarah rohani adalah IFO – in finem omnia.