MICHAEL Jordan lahir di Brooklyn New York dari keluarga kulit hitam yang amat miskin. Ayahnya hanya buruh miskin yang upahnya kecil dan tidak cukup menafkahi lima orang anaknya.
Michael hidup dalam kemiskinan dan diskriminasi. Masa depannya suram. Ia tak melihat ada harapan mengubah nasibnya. Ketika ia berusia 13 tahun, ayahnya memberi dia pakaian bekas.
“Menurutmu berapa harga baju bekas ini?,” tanya ayahnya.
“Paling 1 dollar,” jawab Michael.
“Bisakah kamu menjualnya 2 dollar? Kalau bisa, kamu sangat membantu orangtuamu,” pinta ayahnya.
“Saya akan coba, tapi tidak janji,” katanya.
Karena tidak punya setrika, baju itu dicuci sampai bersih, disikat di papan rata dan dijemur. Ia menjual di stasiun bawah tanah dengan harga 2 dollar.
Hari berikutnya ayahnya memberi dia pakaian bekas lagi.
“Bisakah kamu menjualnya menjadi 20 dollar?,” kata ayahnya.
“Mana mungkin?,” jawabnya.
“Kenapa gak kamu coba dulu”.
Michael berpikir bagaimana bisa menjual baju bekas itu. Ia meminta temannya menggambar Donald Bebek dan Mickey Mouse di baju itu. Ia membawa baju itu ke sekolah anak-anak kaya. Suster pengasuh anak membelinya dengan bonus 5 dollar. Michael membawa pulang 25 dollar.
Hari berikutnya ayahnya membawa baju bekas dengan tantangan baru.“Bisakah kamu menjual baju bekas ini menjadi 200 dollar?”
Tanpa ragu, Michael menerima tantangan itu. Sebulan kemudian, ketika di kota itu datang bintang film Charlie’s Angels yakni Farrah Fawcett, Jordan menerobos kerumunan orang dan minta tanda tangan Farrah Fawcett di baju pemberian ayahnya.
Dengan senang hati bintang Film itu membubuhkan tanda tangan. Michael Jordan berteriak menjual bajunya. “Siapa mau membeli baju dengan tanda tangan Miss Farrah Fawcet seharga 200 dollar?”
Seorang pengagum Farrah Fawcett membayar baju itu seharga 1.200 dollar.
Ayahnya meneteskan air mata. “Anakku, engkau sungguh hebat. Apa hikmah yang kamu dapat dari menjual baju itu?”
Michael menjawab, “Selama kita mau berpikir pasti ada caranya”.
“Bukan itu,” kata ayahnya “Sehelai baju bekas seharga 1 dollar saja bisa ditingkatkan nilainya. Apalagi kita manusia yang hidup? Apa bedanya kulit hitam atau putih, kaya atau miskin? Tergantung bagaimana kita mendayagunakan potensi kita masing-masing”.
Malam itu Jordan memperoleh secercah harapan. Ia bisa mengubah hidupnya. Akhirnya ia menjadi pebasket terpopuler dan terkaya sepanjang masa.
Yesus berkata, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kalian tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga”. Yesus menuntut murid-muridnya mempunyai semangat magis atau bertindak yang lebih. Jangan hanya melakukan sebatas kewajiban saja, tetapi lebih dari itu. Jangan hanya “tidak boleh membunuh”, tetapi marah saja sudah harus dihukum.
Berkata “kafir” atau “jahil” saja harus dihadapkan ke mahkamah agama. Menjadi murid Yesus dituntut lebih, maksimal, magis. Tidak boleh hanya minimalis, sama dengan yang lain, ikut aman saja.
Michael Jordan sudah memberi contoh pada kita. Mari kita mewujudkannya dalam masa tobat ini.
Berkah Dalem,