1 Kor 12:31-13:13
Mzm 33:2-3,4-5.12.22
Luk 7:31-35
SIKAP acuh tak acuh merujuk pada keadaan di mana seseorang menunjukkan ketidakpedulian atau tidak memberi perhatian terhadap sesuatu yang seharusnya penting.
Sikap ini sering kali ditandai dengan kurangnya empati, ketidaktertarikan, atau rasa apatis terhadap masalah atau situasi di sekitarnya.
Sikap acuh tak acuh bisa berdampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan; baik dalam hubungan antar pribadi maupun dalam lingkungan karya. Hanya dengan sikap tanggap dan responsif keadaan akan menjadi baik.
“Sebuah pujian yang tulus disampaikan kepada Panitia Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia; khususnya panitia perayaan ekaristi di GBK,” kata seorang sahabat.
“Panitia cekatan dan bertanggungjawab akan terlaksananya perayaan dengan baik, lancar, dan khimat. Hal itu terlihat dari keseriusan mereka sejak pendaftaran peserta hingga pelaksanaan perayaan ekaristi dan sesudahnya. Semua tertata rapi dan sangat berkelas. Terlebih teman-teman kaum muda yang terlibat di dalamnya; baik itu petugas liturgi hingga mereka yang bertanggungjawab pada kebersihan dan keamanan.
Mereka tidak canggung dan cekatan mengambil sampah, mereka gercep (gerak cepat), sat-set menjalankan tanggungjawabnya. Pelayanan dan pengurbanan mereka menjadi salah satu aspek yang membuat kunjungan Paus semakin istimewa untuk kita semua,” ujarnya
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan yang saling menyerukan: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis.”
Mengapa Yesus menyamakan mereka dengan anak-anak yang duduk di pasar? Sebagaimana anak-anak pada umumnya yang belum memahami banyak hal, demikian pula orang-orang Yahudi tidak memahami maksud Allah melalui kehadiran Yohanes dan Yesus.
Yesus menyebut dua figur penting: Yohanes Pembaptis dan diri-Nya sendiri. Yohanes datang dengan cara yang sangat berbeda: hidup sederhana, berpuasa, dan kerasukan setan menurut pandangan mereka. Sementara itu, Yesus datang dengan cara yang lebih menghibur: makan, minum, dan bergaul dengan orang-orang berdosa. Namun, keduanya dipandang skeptis dan tidak diterima.
Sebagaimana anak-anak yang belum matang secara spiritual, demikian pula orang-orang Yahudi belum memiliki kematangan rohani dalam diri mereka. Mereka masih labil, belum memiliki standar penilaian yang jelas dan masih cenderung mengikuti kehendak hati dan pikiran mereka sendiri.
Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk memeriksa sikap kita dan menilai apakah kita benar-benar terbuka terhadap petunjuk dan panggilan Tuhan sehingga jauh dari sikap acuh tak acuh.
Kita perlu belajar untuk membuka hati dan pikiran kita, dan memahami bahwa Tuhan dapat menggunakan berbagai cara dan orang untuk menyampaikan pesan-Nya kepada kita.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku bersedia mendengarkan dan menanggapi pesan-Nya dengan cara yang penuh iman dan pengertian, ataukah aku tetap pada sikap acuh tak acuh, menunggu tanda-tanda yang lebih sesuai dengan ekspektasiku?