Home BERITA Ragu-ragu

Ragu-ragu

0
Ilustrasi: Wiraswasta dengan buka warung. (Ist)

Renungan Harian
Senin, 14 Februari 2022
PW. St. Sirilius, Rahib dan Uskup
Bacaan I: Yak. 1: 1-11
Injil: Mrk. 8: 11-13

DI antara teman-teman seangkatan baik saat masih di SMP, SMA bahkan sampai saat kuliah, dia adalah salah satu yang anak yang pandai. Dia tidak pernah lepas dari tiga besar dalam angkatannya.

Dia anak yang cerdas dan juga pandai dalam berbicara. Kalau dia menjelaskan sesuatu mudah ditangkap oleh orang lain. Artinya dia tidak hanya orang yang pandai dan cerdas dalam mengerjakan tugas-tugas pelajaran. Tetapi dia juga orang pandai dan menarik dalam berbicara. Banyak guru dan dosen yang meramalkan bahwa dia akan menjadi orang sukses pada suatu hari nanti.
 
Keberadaan dia sebagai orang cerdas dan pandai membuat dia terkenal di kalangan teman-teman angkatan, bahkan juga lintas angkatan. Situasi ini membuat dia mau tidak mau ditempatkan pada level tertentu.

Dia tahu dan menyadari bahwa dia ada di level “elit” itu dan nampaknya dia juga menikmati dan bangga dengan keberadaannya. Situasi itu membentuk dirinya menjadi orang yang harus selalu berada di level “elite” sehingga dia terlalu banyak berhitung dan pertimbangan bila mau mengerjakan sesuatu.

Dia tidak ingin bahwa apa yang dikerjakan membuat dirinya kelihatan bodoh, gagal dan jatuh. Setiap kali mengerjakan sesuatu selalu lama, sering kali menyerahkan di saat terakhir waktu pengumpulan tugas.

Kami teman-temannya, menganggap dia sebagai orang yang ribet. Kami mengakui bahwa perhitungan dan pertimbangan dia benar, tetapi tidak segera mengerjakan sesuatu selalu banyak ini dan itu.

Meskipun dia orang yang pandai yang selalu menghasilkan tugas-tugas dengan nilai yang tinggi bahkan seringkali sempurna, banyak teman yang menghindar bila mengerjakan tugas kelompok dengan dia; alasan teman-teman karena dia itu ribet.
 
Suatu ketika kami mengadakan reuni emas angkatan SMA. Kami semua yang sekarang sudah berusia 50 tahun dan banyak diantara kami sudah lama tidak berjumpa saling berkangen-kangenan luar biasa.

Kami berkisah perjuangan perjalanan hidup kami masing-masing hingga saat ini.

Saat kami saling berkisah, kami semua agak terkejut bahwa teman kami yang cerdas, pandai; yang diramal oleh banyak guru dan dosen akan menjadi orang yang sukses ternyata saat ini dia tidak sesukses yang kami bayangkan dan juga mungkin dibayangkan oleh para guru dan dosen.

Dia sekarang berwiraswasta buka toko kelontong yang tidak besar di pasar di kota kelahirannya.
 
Dia berkisah bahwa salah  satu kelemahan terbesar dalam hidupnya adalah sikap yang selalu ragu-ragu. Dia menyadari pada saat ini bahwa sikap peragu itu membuat dirinya tidak berani bertindak apapun.

Dia selalu membuat banyak pertimbangan namun sulit sekali untuk mengambil keputusan. Bahkan disaat dia sudah tahu keputusan apa yang harus diambil dia tidak berani mengambil keputusan itu karena selalu dibayang-bayangi ketakutan akan kegagalan.

Dia membandingkan dengan dirinya dengan anaknya yang sekarang sudah sukses. Anaknya ini anak yang berani mengambil resiko, tidak pernah takut gagal, tidak pernah takut jatuh, meskipun baginya itu mengerikan dan tidak masuk akal.

Tetapi keberaniannya mengambil keputusan dan keberaniannya menanggung risiko menjadikan anaknya sukses.
 
Kami semua yang mendengar kisahnya bisa mengerti dengan situasi yang dihadapi tetapi kami menghibur dia dengan ejekan-ejekan kami yang membuat dia bisa menertawakan dirinya sendiri,” seorang teman bercerita tentang pengalaman reuninya.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari sejauh diwartakan dalam Surat St. Yakobus:

”Sebab orang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin.”
 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version