Raja yang Murah Hati

0
Ilustrasi: Buku Tahta untuk Rakyat Sri Sultan HB IX - Ist

Puncta 27 Mei 2024
Senin Paskah VII
Markus 10: 17-27

SETELAH kemerdekaan, kas negara waktu itu minim sekali. Bahkan untuk membayar gaji pegawai negara pun kesulitan. Kondisi itu diperparah lagi oleh agresi Belanda untuk merebut kembali Indonesia yang baru merdeka seumur jagung.

Melihat keprihatinan seperti itu, tergeraklah semangat nasionalisme Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB IX. Beliau menyerahkan seluruh harta yang ada untuk disumbangkan bagi Republik.

Kepada Soekarno di Keraton Yogyakarta, Sri Sultan berkata, “Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silakan lanjutkan pemerintahan di Jakarta,” sambil menyerahkan sumbangan sejumlah 6,5 juta Gulden.

Soekarno tak kuasa menahan airmata, demikian juga sejumlah menteri yang menyertainya. Mereka semua terharu atas kemurahan hati Raja Yogyakarta itu.

Beliau tidak memikirkan dirinya dan keluarga, tetapi negara dan rakyat Indonesialah yang dipikirkan. Dengan bantuan itu, Soekarno dapat menjalankan roda pemerintahan untuk kesehatan, pendidikan, militer, serta gaji pegawai-pegawai pemerintahan RI.

Hingga wafat, Sultan dan keraton tak pernah meminta agar sumbangan itu dikembalikan di kemudian hari.

“Kami hanya berharap pemimpin sekarang seperti itu, bisa meneladan HB IX, memberi untuk rakyat; bukan mengambilnya dengan korupsi,” harapan Gusti Prabu, salah satu putera HB IX.

Sangat berbeda dengan sifat orang yang dihadapi Yesus. Ia berlari mendapatkan Yesus dan berkata, “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

Yesus menyarankan agar dia melaksanakan apa yang diperintahkan Musa dalam Taurat. Dengan sombong dia menjawab, “Guru, semuanya itu sudah kuturuti sejak masa mudaku.”

“Hanya satu kekuranganmu; Pergilah, juallah apa yang kaumiliki, dan berikanlah kepada orang miskin. Maka engkau akan memperoleh harta di sorga. Kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” Kata Yesus.

Orang itu menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyaklah hartanya.

Harta tidak akan dibawa mati. Kelekatan pada harta sering mengganggu kita untuk mencapai hidup yang kekal. Kemelekatan pada harta tidak menambah kebahagiaan kita. Berani berbagi dan memberi justru akan menambah kebahagiaan kita.

Seperti Sultan HB IX itu, kebaikannya dikenang sepanjang masa oleh seluruh rakyat Yogyakarta, bahkan seluruh bangsa Indonesia. Citranya tetap ada di hati seluruh rakyat. Beliau hidup mulia karena kedermawanannya.

Dari Pontianak ke Mempawah,
Di jalan ketemu dengan jerapah.
Apalah artinya harta melimpah,
Jika hidup tidak bisa menjadi berkah.

Cawas, untuk apakah hartamu?
Rm. A. Joko Purwanto Pr

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version