Perang telah membuat banyak orang menjadi difabel. Ada yang kehilangan satu kaki, satu tangan, kedua tangan dan kaki. Ada juga yang kehilangan matanya.
Sebuah senjata yang paling banyak membuat orang cacat, bahkan setelah perang selesai, adalah ranjau. Ada berbagai jenis ranjau, tetapi jenis yang paling banyak ditanam adalah ranjau anti-personel. Ranjau ini hanya berdiameter sekitar 10 Cm dan memiliki ketebalan sekitar 2 Cm, tetapi ledakannya mematikan. Kalaupun tidak menewaskan, ranjau mampu menghilangkan anggota badan seseorang.
Saya masih ingat, enam belas tahun sejak saya meninggalkan Kamboja, yakni pada tahun 1997, saya sering mendengar dan membaca berbagai upaya pemusnahan ranjau. Jesuit Service Cambodia (JSC) ikut berpartisipasi dalam kampanye pelarangan dan pemusnahan ranjau tersebut. Saat ini, upaya itu masih terus menerus dilakukan.
Masih Banyak Ranjau di Kamboja
Pada bulan Desember 1997 delegasi dari 122 negara berkumpul di Ottawa untuk menandatangani kesepakatan penting guna menghilangkan senjata mematikan ini. Lima belas tahun kemudian, Jody Williams, seorang aktivis International Campaign to Ban Landmines (ICBL), yang mendapatkan hadiah Nobel pada tahun 1997, mengatakan,”kita hampir bebas dari ranjau”. Pada saat ini sudah terdapat 160 negara, atau lebih dari 80% jumlah negara di dunia, telah bergabung dalam kesepakatan tersebut.
Namun demikian, Mines Advisory Group (MAG) Kamboja, www.maginternational.
Kamboja menjadi salah satu penduduk di dunia dengan jumlah terbanyak rata-rata orang cacat per Kapita. Ketika kesepakatan Ottawa ditandatangani, di Kamboja diperkirakan masih menyimpan 10 juta ranjau. Pada saat itu dinyatakan bahwa Kamboja akan sudah bebas ranjau pada tahun 2009. Kenyataannya, dari data demining (pengambilan ranjau dari tempat ranjau ditanam) rata-rata saat ini, tugas ini diperkirakan masih membutuhkan waktu 25 tahun lagi.