Singkat kata sang akrobatik itu berhasil melintasi tali tadi dengan selamat.
Kemudian ia bertanya kepada para penonton, “Percayakah saudara-saudara bahwa saya akan bisa melintasi tali ini lagi untuk kedua kalinya?”
Mereka serentak menjawab, “Percayaaa…!”
Sang akrobatik menantang, “Kalau begitu, siapa yang berani ikut dengan saya melintas di sini?”
Semua diam, sunyi-senyap seperti batu-batu kali yang bisu.
Kemudian seorang anak berteriak, “Saya mau…!”
Semua mata tertuju kepada anak itu. Dengan penuh kepercayaan kepada kemampuan sang akrobatik anak kecil itu duduk di bahunya. Semua orang menjadi sangat serius dan tegang mengikuti langkah-langkah sang akrobatik itu, dan…ternyata kali ini pun sang akrobatik bisa menyeberang dengan sukses.
Setelah sampai di ujung dengan selamat, semua orang bersorak gembira. Mereka kagum atas keberanian anak itu dan kepercayaannya kepada sang akrobatik bahwa mereka akan selamat. Mereka ingin tahu siapakah gerangan anak itu?
Kesimpulan yang menjawab semua teka-teki dan rasa ingin tahu dari para penonton itu ialah kata-kata sang akrobatik itu sendiri, “Ia adalah anak saya!.”
Ooooo… pantas! Begitu guman para penonton. Semua menjadi paham mengapa anak itu berani, sedangkan semua penonton lain tidak akan berani ambil resiko.
Ilustrasi itu sangat tepat untuk melukiskan apakah artinya “percaya.”
Tiga pemuda dalam Kitab Daniel, Sadrak, Meshak dan Abednego itu (Dn. 3: 24-27) percaya kepada Yahwe yang akan menyelamatkan mereka dari tanur api. Mereka berani menghadapi tantangan dan risiko iman mereka. Demikian pula Yesus Sang Putera menaruh kepercayaan total kepada kehendak Bapa-Nya di sorga. “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang