Bacaan I: Yes. 11: 1-10
Injil: Luk. 10: 21-24
DALAM perayaan ekaristi perayaan pesta emas, pada saat kotbah, saya meminta pasangan yang berpesta untuk berbagi pengalaman perjalanan 50 tahun menjalani hidup perkawinan.
Setelah bapak berbagi pengalaman, kini giliran ibu yang berbagi pengalaman.
“Romo, sejak saya masih SMA dan Kuliah, saya selalu berharap suatu saat nanti saya mempunyai suami yang baik, yang sabar dan penuh pengertian, sehingga kami punya keluarga yang damai dan bahagia. Saya ketemu dengan suami saya ini karena dikenalkan oleh orang tua. Dia orang yang lurus, jujur, tetapi orangnya keras dan sedikit otoriter. Awalnya saya menolak romo, tetapi orangtua mengatakan: “Nanti dalam perjalanan perkawinan pasti akan berubah. Kamu harus belajar sabar, dan mengerti.”
Dalam perjalanan perkawinan, suami saya ini orang yang jujur, lurus, “nrima” dan tidak macam-macam, serta pekerja keras. Tetapi sikap keras dan otoriternya semakin kelihatan.
Kalau sudah punya pendapat dan kemauan apapun harus terjadi. Kalau saya menentang, kami akan ribut, bahkan kalau dirinya salah pun pasti akan marah-marah.
Maka benar nasehat orang tua, saya harus sabar dan mengerti. Kalau saya tahu apa yang suami putuskan itu salah, saya tidak menentangnya tetapi berjuang agar apa yang diputuskan dampaknya tidak banyak.
Demikian selalu saya lakukan dalam perjalanan rumah tangga kami, terlebih bila itu berkaitan dengan anak-anak.
Saya selalu menjaga agar anak-anak tidak terluka, tetapi bisa melihat bahwa bapaknya amat mencintai mereka. Saya selalu menjaga agar anak-anak tetap mengalami keluarga yang damai dan penuh cinta.
Lama kelamaan saya menjadi hafal dan mengerti sifat suami saya yang keras dan otoriter itu, sehingga yang awalnya berat dan menyakitkan lalu menjadi biasa.
Saya bahagia bersama dengan dia sampai sekarang.
Romo, kalau saya selalu berharap ini dan itu dan meletakkan harapan pada Tuhan, ternyata Tuhan memberi kekuatan dan jalan agar saya bisa mewujudkan harapan itu.
Tuhan tidak pernah mengubah suami saya yang keras sampai sekarang, tetapi Tuhan memampukan saya untuk mengerti dan menerima dia, sehingga kami dapat mewujudkan keluarga kami menjadi keluarga yang bahagia, damai dan penuh cinta.
Tetapi kok sadarnya baru sekarang ya romo, he……he.
Sampai sekarang saya tetap mohon dan mohon, berharap dan berharap agar keluarga kami bahagia, damai dan penuh cinta.”
“Betul begitu pak?,” tanya saya kepada bapak.
“Betul romo,” bapak itu menjawab sambil tersenyum bahagia sembari mengangkat dua ibu jari tangannya.
Syering ibu yang luar biasa itu membantu saya untuk mengerti sabda Tuhan hari ini dalam nubuat Nabi Yesaya.
Allah tidak akan mengubah semuanya menjadi baru tetapi Allah memampukan orang-orang untuk mewujudkan nubuat itu.
Orang-orang itu adalah mereka yang berpegang pada panji-panji Tuhan. “Maka pada waktu itu taruk dari pangkal isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi para bangsa.”
Bagaimana dengan aku? Akan aku berpegang pada panji-panji Tuhan?