Bacaan I: Dan. 9: 4b-10
Injil: Luk. 6: 36-38
“WAH, ini puterinya mirip banget ya dengan mamanya,” sapaan saya spontan ketika bertemu dengan seorang ibu dan puterinya.
“Banyak orang mengatakan demikian romo, bahkan beberapa orang mengatakan bahwa puteri saya ini, saya versi muda,” jawab ibu itu dengan tertawa.
“Oh, jadi bukan hanya wajahnya saja yang mirip tetapi sifat-sifatnya juga mirip ya,” jawab saya.
“Betul romo,” kata ibu itu.
“Romo, sebenarnya dulu menurut saya, dia itu beda banget dengan saya. Mungkin wajah mirip. tetapi sifat-sifatnya amat beda. Sejak kecil, anak ini selalu menjengkelkan. Banyak hal yang tidak cocok dengan saya. Saya sering marah dengan dia, karena menurut saya selalu aneh-aneh, amat moody, dan sering kali melakukan hal-hal yang tak terduga.
Beberapa orang teman dan saudara selalu mengatakan bahwa dia mirip saya. Tetapi saya selalu menolak, karena menurut saya gak ada miripnya. Saya merasa sifatnya dengan sifat dia bertolak belakang.
Baru, akhir-akhir ini saya menyadari bahwa dia sungguh-sungguh mirip saya, bahkan menurut saya banyak sifat saya yang ada dalam dirinya “diperbaharui” menjadi lebih baik.
Setelah saya renung-renungkan, ternyata dulu itu saya banyak marah ke dia sebenarnya karena saya membenci sifat-sifat jelek yang ada pada diri saya.
Saya melihat sikap dan tindakan dia itu menunjukkan sifat yang saya benci dalam dirinya. Saya kasihan dengan dia, karena dia menjadi korban dari kebencian pada sifat saya yang tidak saya sadari.
Sejak saya menyadari itu, hubungan kami jadi amat baik. Ia menjadi teman baik saya romo,” ibu itu menjelaskan.
Apa yang dialami oleh ibu itu amat sering terjadi pada diri banyak orang.
Orang mudah menghakimi dan menghukum orang lain sering kali bukan pertama-tama karena orang lain itu salah atau jahat, tetapi orang itu tidak senang bahwa sifat dalam dirinya yang tidak disukai ada pada orang itu.
Sehingga orang membenci orang lain karena sebenarnya membenci dirinya. Orang tidak mudah untuk mengampuni orang lain, karena dia juga tidak bisa mengampuni diri sendiri.
Betapa penting adanya kesadaran diri, seperti yang dialami oleh ibu itu.
Kesadaran akan siapa diriku dan berjuang untuk menerima diri sendiri dengan baik, sehingga tidak menciptakan ukuran ideal diri pada diri orang lain.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, Yesus mengingatkan pentingnya kemurahan hati.
Dengan kemurahan hati, menjadikan orang lebih terbuka untuk menerima diri sendiri dan orang lain sehingga tidak dengan mudah mengadili orang lain.
“Hendaklah kamu murah hati, sebagaimana Bapamu adalah murah hati.”
Bagaimana dengan aku?
Murah hatikah aku?