Bacaan I: Hos. 14: 2-10
Injil: Mat. 10: 16-23
BEBERAPA waktu yang lalu ada seorang frater bertanya: “Mo, ketaatan itu kan spiritnya obedientia sicut cadaver (taat seperti mayat), apakah itu berarti tidak boleh mempertanyakan alasan mengapa tugas itu diberikan kepada saya? Ada juga pendapat kalau ketaatan yang seperti itu adalah ketaatan bodoh. Jadi, ketaatan itu harus dihayati seperti apa?”
Menurut hemat saya, frater tidak berharap saya menjawab dengan teori atau pendapat-pendapat ahli tentang penghayatan kaul ketaatan, tetapi meminta pendapat saya pribadi sejauh saya pahami dan saya hayati.
Saya mengatakan kepadanya:
“Pertama-tama dan utama, penghayatan ketaatan kepada pembesar adalah ketaatan kepada Tuhan. Selanjutnya meyakini bahwa pembesar mengetahui persis akan kebutuhan kerasulan dan dimana saya dibutuhkan.
Pada sisi ini, selama ini saya tidak pernah mempertanyakan kenapa saya diutus ke sana atau ke sini dan juga tidak pernah memilih untuk diutus ke sana atau ke sini, pun ketika saya ditawari. Pokoknya saya taat.
Apakah ketaatan seperti ini ketaatan bodoh atau tidak? Bisa disebut bodoh karena kita tidak tahu alasannya, dan tidak mempertimbangkan kemampuan saya, dan segala pertanyaan semacam itu.
Akan tetapi kalau dilihat dalam penghayatan pilihan hidup tentu bukan sebuah kebodohan. Sikap taat yang semacam itu bagian dari pilihan hidup yang telah kupilih, aku sadar betul akan pilihan hidupku, saya yakin, sadar dan tahu persis bahwa pilihan hidupku menghantar pada tujuan hidupku. Aku bersyukur dan bangga dengan pilihan hidupku.”
Pada saat aku merenungkan Sabda Tuhan hari ini, sejauh diwartakan Matius:
“Lihat, Aku mengutus kalian seperti domba ke tengah-tengah serigala. Sebab itu hendaklah kalian cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” aku melihat bahwa serigala bagiku adalah ketidaksetiaan pada perutusan.
Godaan untuk melakukan dan menjalankan banyak hal yang bukan perutusan pertama dan utama itulah serigala bagiku. Banyak tawaran yang sering lebih menarik, menggairahkan dan menyenangkan untuk dipilih.
Tawaran itu bukan sebuah tawaran yang terlepas dari tugas imamat saya, tawaran itu tetap sebuah bentuk kerasulan yang baik dan suci, akan tetapi tawaran-tawaran itu harusnya hanya menjadi tugas “sampingan” bukan tugas yang utama dan pertama.
Ternyata aku selama ini merasa selalu taat, dan menghayati ketaatan, akan tetapi aku belum setia dan tekun dalam ketaatan itu. Pengutusan utama tidak diabaikan tetapi tidak sepenuhnya dihidupi sehingga aku tidak menjalankan dan menghasilkan dari maksud tujuan perutusan itu.
Apapun namanya, sesuci dan sehebat apa pun yang kulakukan diluar perutusan utamaku menunjukkan bahwa aku lari dari perutusan itu.
Satu hal yang lemah dan kendor adalah kemampuan berdiskresi. Aku telah punya sarana itu namun ternya lebih banyak tidak kugunakan atau lebih tepatnya aku menulikan hati dan budiku dari buah diskresi itu.
Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati bagiku adalah menajamkan kemampuan berdiskresi sehingga mampu tetap setia dan tekun dalam perutusan yang utama.
Sarana itu sudah aku punya dan telah ditanamkan dalam diriku yang kumulai 33 tahun yang lalu, tepatnya 7 Juli 1987 lalu. Banyak orang menjadi hebat dengan sarana itu, dan aku telah mengabaikannya.
Saatnya untuk kembali dan menekuni sarana itu lagi, agar semakin menjadi alat yang lebih baik bagi Tuhan.