PW. St. Martinus dari Tours, Uskup
Bacaan I: Tit. 3: 1-7
Injil: Luk. 17: 11-19
IBU sepuh itu menangis tersedu-sedu sambil memeluk anak muda yang bersimpuh menghormat di pangkuannya. Tidak henti-hentinya ibu itu mengucap syukur dan memberikan restu kepada anak muda itu.
Peristiwa itu saya alami, ketika saya mengunjungi seorang ibu yang sudah sepuh.
Ibu itu sudah lama tidak bisa pergi ke gereja, karena memang sudah sepuh. Setiap hari beliau hanya berbaring dan sesekali duduk di tepi tempat tidur.
Saat kami sedang ngobrol, tiba-tiba ada tamu seorang anak muda.
“Ibu, masih ingat saya?” Sapa anak muda itu. Ibu sepuh itu mencoba mengingat tetapi tampaknya sungguh-sungguh sudah lupa.
“Saya Paul, ibu. Saya murid ibu waktu di SD,” anak muda itu mencoba membantu ibu itu untuk mengingatnya, tetapi tidak berhasil.
“Bu, saya Paul, anak tukang sampah, yang dulu sering ibu beri makanan kecil untuk sarapan. Berkat nasehat-nasehat ibu dan doa dari ibu, sekarang saya sudah jadi dokter bedah syaraf, seperti kata ibu waktu itu, bahwa saya nanti pasti jadi dokter,” anak muda itu tetap mencoba memperkenalkan dirinya.
Ibu itu sontak memeluk anak muda itu.
“Ibu, saya menghaturkan banyak terima kasih, kalau tidak ada ibu entahlah apa yang terjadi dengan hidup saya,” kata anak muda itu.
“Walah, kamu itu melebih-lebihkan. ibu hanya bisa mendoakan,” kata ibu itu dengan wajah penuh syukur dan kebanggaan.
“Betul kok bu, saya ingat persis dan selalu ingat apa yang ibu katakan: “Jangan pernah minder, karena Tuhan memberi anugerah luar biasa pada kamu, yang penting kamu harus berjuang jangan lengah dan jangan lelah berjuang, agar anugerah itu nyata untuk kamu.”
“Ibu, nasehat itu selalu saya pegang menjadi bekal hidup saya, sehingga saya selalu berjuang, dan tidak pernah malu dan minder. Sehingga saya bisa seperti ini.”
Anak muda itu meyakinkan ibu gurunya.
Saya ikut terharu melihat kejadian itu.
Dalam hati aku bertanya: “Kapan ya aku pernah mengunjungi guruku dan mengucapkan terima kasih kepada beliau-beliau yang telah mendidikku. Berapa banyak murid yang kembali kepada gurunya untuk berterima kasih?”
Sering kali dalam keberhasilanku, aku lupa untuk bersyukur dan berterima kasih kepada mereka yang menjadi saluran berkat untuk hidupku.
Seperti sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan St. Lukas: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang Sembilan orang tadi? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain orang asing ini?”
Pengalaman syukur hanya muncul saat aku sungguh merasa tidak pantas untuk mendapatkannya akan tetapi aku boleh menerimanya. Hal itu membutuhkan kerendahan dan kelembutan hati.
Adakah kerendahan dan kelembutan hati dalam diriku?