PW. St. Yohanes dari Salib.
Bacaan I: Bil. 24: 2-7. 15-17a
Injil: Mat. 21: 23-27
BEBERAPA tahun yang lalu, ketika saya mengunjungi sebuah stasi, tokoh umat di stasi itu meminta saya mengunjungi salah satu warga. Warga itu sudah bertahun-tahun tidak pergi ke gereja dan tidak pernah ikut kegiatan gereja.
Ia mengasingkan diri dari pergaulan yang sifatnya keagam an. Tokoh umat itu berharap, dengan kunjungan saya, warga itu mau kembali ke gereja dan tidak mengasingkan diri dari kegiatan stasi.
Dengan diantar beberapa tokoh umat, saya mengunjungi warga tersebut. Setelah saya memperkenalkan diri dan berkenalan kemudian saya bertanya tentang kabarnya.
Warga itu kelihatan gelisah dan sepertinya tidak suka dengan kedatangan saya. Wajahnya tegang, seolah menahan marah.
“Frater datang ke sini mau suruh saya pergi sembahyang ke gereja kan? Untuk apa saya pergi sembahyang ke gereja, Tuhan ada di gerejakah? Frater tolong tunjukkan bukti bahwa Tuhan ada di gereja, dan saya akan selalu pergi ke gereja, kalau perlu saya akan tidur di gereja,” kata warga itu dengan keras dan sinis.
Saya diam mendengarkan.
“Frater tahu? Bapak dan mama saya orang yang aktif di gereja, sebelum tua-tua ini aktif terlibat, orangtua saya sudah sangat aktif. Ketika tua-tua ini masih sering tidur di selokan-selokan (karena mabuk) bapak saya sudah mulai membangun gereja itu. Frater tahu? Setiap hari kami membersihkan gereja, membersihkan bangku. Bapak setiap hari minggu kasih pimpin ibadah. Hidup keluarga kami untuk gereja dan katanya untuk Tuhan.
Tapi apa yang Tuhan buat? Bapak, mama, dua orang kakak dan tiga orang adik dibantai semua sampai meninggal. Kenapa Tuhan tidak kasih perlindungan untuk keluarga kami. Padahal setiap hari bapak pimpin doa untuk kami, mohon perlindungan dan serahkan diri pada Tuhan.
Frater tahu rasanya melihat tujuh orang yang saya cintai menjadi mayat? Frater tahu rasanya hidup sendiri ditinggal semua anggota keluarga yang dibantai?
Sekarang frater datang mau bilang Tuhan maha kasih dan akan menjamin umat-Nya? Kasih bukti dulu baru saya mau percaya,” warga itu menambahkan.
Saya diam terpaku, tercekat membayangkan apa yang dialami warga itu. Saya juga tidak tahu harus bicara apa dan menerangkan apa atau menghibur apa.
Rasanya apa pun yang saya katakan akan membuat dia semakin marah.
“Bapak, saya datang bukan untuk minta bapak pergi sembahyang ke gereja atau minta bapak berdoa. Saya datang untuk berkenalan dengan bapak. Saya orang baru dan saya ingin berkenalan dengan warga. Itu saja bapak, maksud kedatangan saya. Bapak, saya mohon maaf sudah bikin bapak marah dan kasih bapak luka terbuka lagi,” kata saya entah dari mana datangnya.
“Oh anak frater, bapak mohon maaf, anak frater tidak bersalah,” bapak itu berkata sambil berdiri dan memeluk saya.
“Anak frater tidur di sini saja sudah. Besok pagi bapak antar anak frater pergi sembahyang ke kampung sebelah,” bapak itu menawarkan dengan ramah.
Tiga malam saya menginap di rumah warga itu dan selama tiga hari bapak itu mengantar saya ke kampung-kampung untuk ibadat dan beliau juga ikut ibadat.
Betapa sulit untuk memahami kuasa Allah dalam situasi yang amat pedih dalam hidup. Saya sering bertanya apakah salah orang mulai mempertanyakan Tuhan dalam situasi yang amat pahit seperti itu?
Apakah orang semacam itu meragukan adanya Tuhan?
Mereka tidak sedang bernalar dan mempertanyakan Tuhan dengan nalarnya, mereka sedang mempertanyakan Tuhan karena ada rasa yang terlukai, karena adanya pengalaman keyakinan yang dihancurkan.
Mereka bukan seperti imam-imam kepala dan pemuka-pemuka bangsa Yahudi yang mempertanyakan kuasa Yesus karena ketidakpercayaan mereka.
Mereka butuh mengembalikan pengalaman cinta Tuhan yang terluka oleh peristiwa yang pedih.
Bagaimana dengan aku?
Adakah pengalaman pedih dan pahit membuat aku kehilangan pengalaman cinta Tuhan?