Bacaan I: Ibr. 3: 7-14
Injil: Mrk. 1: 40-45
BEBERAPA waktu yang lalu, saya menerima tamu seorang perempuan muda. Dia datang dengan raut muka sedih, dan matanya menunjukkan seseorang yang sehabis menangis panjang. Begitu bertemu, belum sempat bicara sudah menangis dengan berurai air mata.
Setelah agak tenang, dia mulai bicara: “Romo, saya amat berdosa terhadap sahabat saya. Dosa saya amat besar romo, karena menyebabkan sahabat saya meninggal.”
Saya terkejut mendengar apa yang dia katakan dan saya berpikir kejahatan apa yang telah dia lakukan.
“Apakah kamu mau bercerita tentang apa yang terjadi?,” tanya saya.
“Romo, saya punya sahabat yang baik, kami saling menyayangi, saling mendukung, pokoknya kami sudah seperti saudara kandung. Sejak sekolah TK sampai kuliah kami selalu di sekolah yang sama, sehingga kami selalu bersama. Pada saat kuliah, kami beda jurusan meski satu fakultas, namun hal itu tidak menghalangi persahabatan kami.
Sejak semester 5, mulai jarang main bareng karena kesibukan kuliah, tetapi kami setiap hari selalu kontak. Sahabat saya kelihatannya mulai terpengaruh teman-teman kuliahnya ke arah yang tidak baik. Beberapa kali saya dengar dia pacaran dengan orang yang sudah punya isteri. Setiap kali saya tanya dia bilang tidak, tetapi kalau saya bisa membuktikan dia baru ngaku. Berkali-kali saya menasehati dia Romo, bahkan dia bilang saya ini cerewet seperti nenek lampir.
Mulai masuk semester akhir dia terlambat karena kebanyakan pacaran, sehingga saya lulus lebih dahulu. Saya selalu mendorong dia untuk segera lulus. Tetapi dia mulai banyak bohong dengan saya Romo.
Terakhir dia sering keluar malam, dan saya tegur dia dengan keras. Teguran ini membuat dia tersinggung, sehingga dia mengatakan: “Kamu jangan ngurusin aku, aku bisa urus diri saya sendiri, dan teman-temanku juga bisa menjaga aku.”
Saya terkejut dan sedih banget. Dia mendiamkan saya, nomor kontak saya diblok, sehingga saya tidak bisa menghubungi dia lagi. Saya pikir: “Ya sudah itu pilihan dia, dan saya menghormati pilihan dia.”
Beberapa bulan lalu saya dengar dari teman lain kalau dia sudah tidak kuliah lagi karena hamil di luar nikah. Saya syok, dan mencoba menemui dia tetapi dia tidak mau ketemu. Berkali-kali saya datang dia selalu tidak mau menemui. Bahkan terakhir dia marah dan mengusir saya.
Romo, beberapa hari lalu dia meninggal, kata teman-teman dia depresi. Romo, saya sedih, terpukul dan saya merasa amat berdosa. Andai saja saya selalu mengingatkan dia, dan saya berjuang keras untuk mengingatkan dia meski saya ditolak mungkin dia tidak meninggal.
Sering saya ngomong sendiri: “Andai saja kamu mau mendengarkan saya, mungkin semua ini tidak terjdi.”
Romo, sejak dia meninggal saya merasa amat berdosa, saya merasa, saya yang menyebabkan dia meninggal,” dia bercerita tentang apa yang terjadi.
“Kamu tidak bersalah, kamu sudah melakukan apa yang bisa kamu lakukan sebagai seorang sahabat. Dia telah memilih, dan pilihan itu menolak dirimu. Dia meninggal bukan karena kamu,” kata saya menenangkan.
Betapa penting untuk berani menegur dan memberi nasihat pada saudara kita, agar saudaraku tidak terjatuh dalam kesulitan.
Persoalan dan tantangan terbesar adalah manakala saudaraku bukan hanya tidak mendengarkan aku, tetapi menolak diriku dan memutuskan hubungan dengan diriku.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam surat kepada umat Ibrani mengingatkan dan menegaskan pentingnya menjaga saudaraku agar tidak jatuh dalam kesulitan.
“Nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan “hari ini”, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hati karena tipu daya dosa.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah aku mau berlelah-lelah untuk menasehati saudaraku?