Bacaan I: Ibr. 7: 1-3. 15-17
Injil: Mrk. 3: 1-6
KETIKA menjelang Pekan Suci, paroki selalu disibukkan dengan berbagai latihan. Sebagaimana biasa, saya akan menemani latihan lektor, misdinar, dan prodiakon.
Sore itu, saya menemani para lektor berlatih untuk bertugas pada Pekan Suci.
Yang saya lakukan ketika menemani berlatih, saya selalu meminta mereka untuk membaca dan menangkap pesan dari perikop yang akan dibacakan.
Setelah mereka mengungkapkan kemudian saya akan menjelaskan.
Dengan cara itu, saya berharap para lektor dapat membacakan sabda Tuhan dengan baik. Setelah itu baru mereka satu persatu belajar membacakan.
Ada satu anggota lektor senior, kalau latihan selalu terlambat, menurut teman-temannya dia sengaja terlambat karena tidak mau ikut proses awal.
Ia ingin datang membaca lalu pulang.
Masih menurut teman-temannya, dia sudah senior dan membaca selalu baik. Ketika gilirannya tiba untuk berlatih membacakan sabda Tuhan, saya memberikan masukan beberapa hal karena tidak jelas dan terlalu monoton.
Saya meminta dia mengulang, dan karena masih salah, saya meminta mengulang lagi.
Ternyata dia tidak suka bahwa dia dikritik, karena dia merasa benar.
“Romo, saya selalu membaca yang paling baik dibanding semua anggota lektor, saya seharusnya menjadi pelatih mereka dan bukan diperlakukan seperti orang yang belajar,” katanya dengan agak marah kepada saya.
“Siapa yang mengatakan anda membaca yang paling baik?” tanya saya.
“Suami dan anak-anak saya,” jawabnya.
“Menurut saya, anda bisa lebih baik lagi,” kata saya.
Ia langsung pulang dan sejak itu dia tidak pernah mau ditugaskan menjadi lektor lagi. Menurut para pengurus, dia mau menjadi lektor kalau romonya datang ke rumahnya dan meminta dia menjadi pelatih.
Sejak dia tidak pernah melatih, apa yang dilakukan adalah menjadi pengamat lektor. Setiap kali sehabis misa, dia akan menemui lektor yang bertugas dan menyampaikan kritik.
Kebiasaan itu membuat para lektor yang bertugas menjadi jengkel dan selalu menghindari dia dengan berbagai alasan. Karena tidak pernah didengarkan oleh para lektor, dan romonya tidak pernah datang meminta dia menjadi pelatih, dia tidak pernah ke gereja lagi.
Menurut teman-temannya, dia akan ke gereja lagi kalau romonya sudah pindah.
Kemarahan lektor itu karena merasa direndahkan ketika diberi masukkan, menjadikan dia sebagai orang yang selalu mencari kesalahan lektor yang lain.
Selama ini, ia selalu menjadi lektor paling benar dan paling baik, sehingga sudah tidak membutuhkan kritik lagi. Selama ini, ia selalu yang memberi kritik kepada lektor yang lain.
Sikap merasa diri benar dan paling baik menjadikan dia anti kritik, sehingga ketika ada yang mengkritik dia ingin membuktikan bahwa dirinya paling baik dan paling benar dengan cara mengkritik orang lain. Dengan tujuan menjatuhkan orang lain.
Ketika ia bisa menjatuhkan orang lain, maka dia mendapatkan kepuasan karena merasa paling baik dan paling benar.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Markus, orang-orang Farisi yang tidak terima dikritik Yesus, maka dia berusaha menjatuhkan Yesus.
“Orang-orang Farisi mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang itu pada hari Sabat, supaya mereka dapat mempersalahkan Dia.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah aku bagian dari orang-orang anti kritik?