Bacaan I: Mi. 7: 14-15.18-20
Injil: Mat. 12: 46-50
BEBERAPA tahun yang lalu, saat saya bertugas di sebuah paroki, ada seorang bapak, umat di paroki kami meninggal dunia mendadak. Menurut dokter, beliau meninggal karena serangan jantung. Bapak itu meninggalkan seorang isteri dan dua orang putera.
Bapak itu tinggal di kota di mana saya bertugas hanya dengan keluarganya. Sedang sanak saudaranya, baik dari beliau maupun dari isterinya, semua di luar kota. Oleh karenanya bisa dibayangkan bagaimana kesulitan isteri dan anak-anak mengalami peristiwa yang mendadak itu.
Untunglah begitu mendengar berita tentang meninggalnya bapak itu, segera beberapa umat bergerak. Beberapa menuju rumah sakit untuk membantu pengurusan jenazah, beberapa langsung ke rumah duka untuk membereskan rumahnya dan memasang tenda, beberapa menyiapkan rangkaian bunga dan bunga tabur.
Maka begitu jenazah tiba di rumah segala hal yang diperlukan untuk persemayaman sudah lengkap.
Hal yang mengherankan adalah sanak famili dari almarhum datang seperti tamu. Tidak satu pun yang menempatkan diri menjadi bagian dari keluarga. Beberapa umat paroki yang justru bertindak sebagai tuan rumah, termasuk menjamu sanak famili yang datang.
Setelah upacara pemakaman selesai, saat saya minta pamit, ibu itu berkata:
“Romo, terima kasih banyak, ternyata yang menjadi saudara, sanak famili saya adalah teman-teman di paroki.”
Apa yang diungkapkan ibu tersebut menunjukkan bahwa yang disebut saudara pertama-tama bukan soal hubungan darah, akan tetapi adalah mereka yang punya kepedulian dan mau terlibat dalam hidupku.
Kiranya sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan Matius menegaskan hal itu: “Sebab, siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku, dialah saudar-iKu, dialah ibu-Ku.”
Yesus menegaskan ukuran saudara bagi Yesus bukan perkara hubungan darah, melainkan apa yang telah dilakukan oleh orang itu.
Apakah aku bisa, layak dan pantas disebut saudara Tuhan?