Bacaan I: 2Tes. 2: 1-3a.13b-17
Injil: Mat. 23: 23-26
DALAM sebuah diskusi informal di grup media sosial ada seseorang yang banyak memberi kritik mengenai sistem pendidikan. Semakin banyak kawan memberikan jawaban semakin banyak kritik yang dilontarkan.
Hal yang menarik adalah ada satu teman yang menyampaikan pendapat: “Kalau memberi kritik sebaiknya memberikan usulan solusi. Kalau hanya mengkritik saja banyak temannya.”
Pendapat seorang teman itu bukan didasari atas ketidaksukaan kepada pemberi kritik. Akan tetapi mengingatkan untuk semua anggota grup agar marwah anggota grup terjaga sebagai marwah kaum intelektual.
Ada sementara orang yang dengan mudah melontarkan kritik, dan sering kali kritik yang destruktif. Pokoknya kalau tidak sesuai dengan apa yang dia mau pasti dikritik.
Ada sementara orang yang sering menyampaikan kritik karena ingin terlihat pandai.
Ada ungkapan dalam bahasa Jawa “Aja ngaku pinter yen durung bisa nggoleki lupute awake dhewe”. (jangan mengaku pandai kalau belum bisa mencari kesalahan diri sendiri).
Ungkapan tersebut mengajarkan agar setiap orang punya kemampuan untuk mawas diri. Orang diajak untuk berani dengan jujur mengukur diri sendiri; mengukur kemampuan diri, mengukur kekuatan diri dan mengukur kebenaran diri.
Dengan kemampuan mawas diri orang diantar kepada pengalaman kerendahan hati, dan menjadi diri sendiri. Sehingga tidak mudah untuk melontarkan kritik yang destruktif atau hanya sekedar melontarkan kritik hanya agar dianggap pandai.
Senada dengan hal di atas kritik Yesus terhadap orang arisi sejauh diwartakan Matius menunjuk sikap orang Farisi yang tidak mampu mawas diri: “Hai orang-orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.”
Bagaimana dengan diriku?