Bacaan I: 1Yoh 2: 3-11
Injil: Luk. 2: 22-35
BEBERAPA tahun yang lalu, ketika saya bertugas mengunjungi guru-guru inpres, saya mengunjungi salah satu guru yang rumahnya di pinggir perkebunan karet. Oleh karena itu, untuk mencapai rumahnya harus melewati perkebunan karet.
Hari itu saya mengunjungi bapak guru tersebut. Saya berangkat sore karena beliau mengajar sampai sore. Dan benar, ketika sampai ke rumahnya beliau baru pulang dari sekolah.
Kami ngobrol-ngobrol cukup lama, sehingga tanpa terasa hari sudah menjelang malam. Namun saya belum diperbolehkan pulang, karena istrinya sudah memasak untuk kami.
Jadilah kami makan malam bersama.
Kira-kira jam 19.30 saya pamit pulang; beliau mengusulkan agar saya menginap karena malam itu mendung gelap dan untuk melewati perkebunan karet tidak mudah.
Saya mengatakan bahwa saya pasti bisa. Beliau agak khawatir akan tetapi karena saya meyakinkan, maka beliau melepas saya dengan pesan agar hati-hati.
Ketika saya tiba di perkebunan karet, ternyata saya tidak bisa menemukan jalan yang tadi saya lalui. Perkebunan itu amat gelap dan hanya mengandalkan penerangan dari lampu sepeda motor saya.
Di saat saya sedang bingung, tiba-tiba hujan deras. Saya semakin bingung karena berputar ke sana kemari tidak menemukan jalan keluar.
Saya sungguh-sungguh stres, tidak tahu lagi arah, mana utara, mana selatan. Sementara hujan deras terus mengguyur.
Sempat terlintas dalam pikiranku, betapa lebih aman kalau tadi saya mau menginap.
Setelah berputar-putar, di kejauhan saya melihat cahaya lampu dan saya menuju ke arah lampu itu. Sesampai di sana ternyata itu gubuk kecil dan ada satu orang pekerja di perkebunan itu yang sedang berteduh.
Saya amat senang karena di tempat yang gelap, dan tidak tahu arah saya menemukan teman. Namun bapak itu mengatakan:
“Mas, kalau gelap begini susah untuk menemukan jalannya. Jangankan mas yang orang baru, kami yang sudah sering lewat perkebunan ini pun kalau gelap begini masih bisa tersesat.”
Jadilah, saya malam itu melewatkan malam dalam dingin karena hujan deras di gubuk itu bersama bapak itu.
Esok pagi setelah matahari terbit, saya baru bisa keluar dari kebun karet itu dan betapa lega bisa melihat terang yang menerangi jalan.
Sungguh suatu pengalaman yang menakutkan ada dalam kegelapan dan tidak tahu arah.
Dalam kehidupan nyata, sering kali aku mengalami kegelapan hidup, membuat diri tidak tahu apa yang harus diperbuat. Tetapi pada saat yang sama sering kali dalam hidup memilih jalan gelap karena lebih menyenangkan “semau gue” tidak peduli dengan orang lain.
Aku gembira walau sebenarnya tidak tahu arah. Seperti sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Surat Yohanes: “Ia tidak tahu ke mana ia pergi, karena kegelapan itu telah membutakan matanya.”
Bagaimana dengan aku?
Lebih senang dalam terang atau dalam gelap?