Bacaan I: Ef. 6: 10-20
Injil: Luk. 13: 31-35
BEBERAPA waktu yang lalu, saya melihat warga sebuah lingkungan sedang membersihkan gereja dan merangkai bunga untuk perayaan ekaristi hari Minggu.
Saya menyapa mereka, sambil guyon-guyon dengan mereka. Saya cukup mengenal warga lingkungan yang sedang kerja bakti di gereja, karena warga lingkungan yang terlibat dalam kerja bakti selalu orang-orang yang sama.
“Lho, ini pasangan penggembira kok gak kelihatan, pantesan agak sepi,” sapaku.
Ada pasangan suami-istri yang selalu menyebut diri mereka sebagai penggembira, karena mengakui dirinya tidak bisa merangkai bunga dan menurut mereka hanya sekedar ikut saja.
Suami istri ini selalu ramah dan bisa bikin suasana jadi meriah.
“Sedang cuti dari lingkungan dan Gereja, Mo,” jawab salah satu dari mereka.
“Ha ? Gimana ceritanya, kok ada cuti dari Gereja?,” tanyaku.
“Pak ketua yang bisa jawab, romo, kalau saya jawab nanti malah salah,” jawab bapak itu.
“Romo, mereka sepertinya lagi ada masalah berat, mereka tidak mau ditemui, dan menutup diri. Mungkin kalau romo yang mengunjungi, mereka mau menerima.”
Bapak ketua lingkungan itu menjelaskan.
“Baik, nanti saya atur waktu untuk mengunjungi,” jawabku.
Beberapa hari kemudian saya mengunjungi keluarga itu. Mereka agak terkejut dengan kedatangan saya, dan mempersilahkan saya masuk. Mereka tampak bingung dan resah.
“Apa kabar? Rasanya sudah lama saya tidak melihat pasangan penggembira?,” sapaku.
“Yaah begini lah romo,” jawabnya dengan kaku.
“Waktu kerja bakti kemarin, saya gak melihat bapak ibu. Saya tanya kemana pasangan penggembira, katanya cuti, he……he. Bener nih lagi cuti?,” tanyaku.
“Tidak juga mo, cuma ini lagi kalut,” jawabnya.
“Kenapa? Apa yang dapat saya bantu?,” tanyaku
“Romo, sejujurnya kami sedang kecewa dan marah sama Tuhan. Usaha yang kami rintis bertahun-tahun hancur. Sekarang ini hidup kami amat sulit romo, jangankan untuk membayar uang sekolah anak-anak, untuk makan saja sekarang sulit. Saya sudah minta tolong ke teman-teman tetapi tidak mendapatkan pertolongan. Mereka bahkan tidak percaya kalau kami kesulitan untuk makan.
Lebih hancur lagi, kedua anak kami sekarang tidak mau sekolah, mereka malu. Pertama kali dalam sejarah mereka sekolah, kami terlambat membayar uang sekolah, karena memang tidak ada uang. Guru mereka menagih uang sekolah di kelas,di depan teman-temannya. Anak saya shock dan malu. Romo, kalau saya minta bantuan ke paroki saya malu.
Romo, sejujurnya beberapa minggu ini saya memang melupakan Tuhan, saya ikut seorang ahli spiritual yang bisa membuka aura rejeki saya agar usaha saya bangkit lagi. Tetapi memang sekarang belum ada hasilnya.
Romo, terima kasih banyak, sudah mau datang. Saya seperti disadarkan lagi untuk kembali kepada Tuhan. Saya sudah kehilangan iman dan harapan saya pada Tuhan.” Bapak itu mengakhiri keluhannya.
Dalam keadaan terpuruk, seseorang bisa jatuh dalam kebimbangan dan godaan untuk mengambil jalan pintas. Seseorang bisa kehilangan harapan dan berujung pada redupnya iman akan Allah. Godaan roh jahat lebih kuat dan lebih menarik dalam keadaan seperti itu.
Sebagaimana kata St. Paulus dalam suratnya pada jemaat di Efesus: “Dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kalian akan dapat memadamkan semua panah api si jahat.”
Apakah aku mampu bertahan dalam godaan?