Bacaan I: Yer. 28: 1-17
Injil: Mat. 14: 22-36
DALAM sebuah pembicaraan dengan almarhum Mgr. Alexander Djajasiswaja, beliau mempunyai keprihatinan mendalam berkaitan dengan cara kami memberi retret atau rekoleksi.
Beliau prihatin karena dalam retret atau rekoleksi, kami para frater sering kali jatuh pada sebuah dinamika kelompok yang cenderung ke bermain dan hura-hura.
Menurut beliau, retret atau rekoleksi yang seperti itu tidak banyak memberi manfaat karena hanya seneng-seneng aja. Dan setelah selesai, apa yang tersisa hanyalah pengalaman kelucuan-kelucuan dan seneng-seneng.
Dan hal itu jauh dari harapan dan tujuan dari retret dan rekoleksi.
Retret dan rekoleksi seharusnya menyadarkan dan menggugah peserta agar dapat lebih maju dalam hidupnya. Orang perlu digoncang dan ditatapkan dengan kenyataan siapa dirinya sesungguhnya.
Dengan demikian peserta dapat mengoreksi diri.
Metode, menurut beliau, boleh apa saja, bahkan dengan bermain pun tidak menjadi soal. Akan tetapi perlu jelas bahwa metode itu harus menghantar pada tujuan retret atau rekoleksi itu sendiri.
Retret dan rekoleksi yang jatuh pada senang-senang saja banyak diminati orang karena itu memberi penghiburan sesaat. Hal semacam itu meninabobokan orang sehingga orang lupa dengan kenyataan diri yang sesungguhnya.
Sebagaimana kritik Yeremia kepada nabi-nabi palsu yang memberi harapan palsu kepada umat Israe di pembuangan.
Nubuat-nubuat palsu itu meninabobokan umat Israel sehingga tidak sadar akan kesalahan mereka dan tidak bertobat.
Dalam banyak pengalaman umat lebih senang mendengarkan kotbah-kotbah yang lucu, kotbah-kotbah yang menghibur dengan menyanyi dan semacamnya.
Isi kotbah seringkali menjadi nomor sekian.
Tidak jarang umat mengatakan: “Saya sudah capai bekerja jadi ke gereja untuk mendapatkan hiburan bukan untuk merenungkan lagi.”
Bagaimana dengan aku?