Pesta St. Fransiskus Xaverius
Bacaan I: 1Kor. 9: 16-19. 22-23
Injil: Mrk. 16: 15-20
SORE itu, bapak sepuh yang selama ini menjadi pengajar katekumen datang menemui saya. Bapak itu usianya sudah 65 tahun, akan tetapi masih terlihat segar dan sehat.
Sudah sering bapak itu kalau sore minta waktu bertemu, biasanya untuk ngobrol-ngobrol tentang bahan pengajaran atau mengajak membahas salah satu perikop yang akan beliau bawakan untuk mengajar.
Sore itu beliau datang, ternyata bukan untuk ngobrol tentang bahan pengajaran, tetapi meminta izin untuk mengajar beberapa katekumen yang sudah sepuh dari rumah ke rumah.
Saya mengatakan boleh, sejauh bapak tidak keberatan untuk mengajar dari rumah ke rumah.
Saya heran melihat bapak itu kelihatan bahagia, ketika mendapat persetujuan untuk mengajar para katekumen dari rumah ke rumah.
Beberapa minggu kemudian beliau meminta saya untuk ikut mengunjungi para katekumen yang beliau dampingi dari rumah ke rumah itu untuk memberi pembekalan dan melantik bapak-bapak sepuh itu sebagai katekumen.
Saya menyanggupi permintaannya dengan senang hati. Kami menentukan hari dan waktunya. Bapak itu mengatakan nanti akan menjemput saya, supaya dapat berangkat bersama-sama dengan sepeda motor masing-masing.
Pada hari yang ditentukan, tiba-tiba hujan lebat, disertai petir yang cukup menakutkan. Saya berpikir acara hari itu akan ditunda karena menurut saya agak riskan untuk pergi. Tetapi yang terjadi pada jam yang telah ditentukan bapak itu datang menjemput saya.
Saya bertanya: “Kita tetap berangkat pak? Bapak tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa romo, ini hanya hujan air,” jawabnya sambil tersenyum.
Maka kami berdua berangkat menembus lebatnya hujan sore itu.
Dalam hati saya malu, karena bapak yang sepuh ini begitu semangat dan tidak terganggu dengan hujan yang lebat dan petir.
Setelah selesai, kami kembali ke pastoran, dan minum teh panas untuk menghangatkan badan. “Pak, lain kali kalau hujan seperti ini sebaiknya bapak tidak usah mengajar, kesehatan bapak lebih penting,” kata saya.
“Romo, saya sehat bahkan amat sehat,” jawabnya.
“Iya betul, tetapi harus dijaga, saya dan banyak umat amat membutuhkan bapak,” kata saya meyakinkan beliau.
“Romo, mendampingi para katekumen dan mengajar agama itu hiburan bagi saya. Saya menemukan kebahagiaan saat bertemu dengan mereka. Saya itu nampaknya mengajar mereka, tetapi saya merasa justru saya belajar dari mereka. Belajar mendengarkan, belajar antusias untuk mendapatkan sesuatu. Maka boleh mendampingi dan mengajar itu anugerah untuk saya. Tuhan memberikan kebahagiaan pada saya. Itulah romo, mengapa saya akan tetap mengajar dan mendampingi mereka,” bapak itu menjelaskan.
Saya sekarang mengerti mengapa, ketika saya menyetujui mendampingi dan mengajar katekumen dari rumah ke rumah beliau kelihatan bahagia.
Pengalaman bapak itu menjadi inspirasi dan semangat bagi saya untuk bahagia dalam pelayanan. Belajar untuk melihat pengutusan dan kesempatan melayani sebagai anugerah bukan sebagai tugas dan kewajiban.
Sebagaimana sabda Tuhan sejauh diwartakan St. Paulus kepada jemaat di Korintus: “Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa imbalan, dan bahwa aku tidak menuntut hakku sebagai pemberita Injil.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku bisa memandang kesempatan untuk melayani sebagai anugerah?