Bacaan I: Ibr. 12: 4-7. 11-15
Injil: Mrk. 6: 1-6
DALAM sebuah pertemuan orangtua Komuni Pertama, kami mensyeringkan tentang pendidikan anak. Salah seorang bapak membagikan pengalamannya:
“Dulu, saya dididik oleh orangtua saya, khususnya bapak, dengan keras. Kami anak-anaknya berenam semua dididik dengan disiplin yang tinggi. Bangun pagi harus segera bangun, merapikan tempat tidur dan mandi; tidak ada waktu untuk bermalas-malasan. Waktunya belajar, kami harus duduk belajar tidak ada yang main-main. Kami semua hidup dengan keteraturan dan disiplin yang luar biasa.
Kami semua menjalani dengan tertib, karena kami takut. Kalau di antara kami ada yang melanggar disiplin pasti akan kena marah, dan mendapatkan hukuman.
Hukuman yang kami terima biasanya mendapatkan tugas tambahan misalnya mencuci piring selama satu minggu atau membersihkan kamar mandi selama satu pekan.
Suatu saat, ketika saya sudah SMA, saya pernah protes ke bapak, karena saya merasa bapak kejam dan tidak sayang pada kami.
Saya ingat persis apa yang dikatakan bapak:
“Dengar semua, dalam banyak hal, apa yang kamu kerjakan di rumah ini belum membuat kamu berkeringat. Kapan kamu belajar sampai berkeringat karena belajar dengan keras? Kapan kamu menyapu kamar sendiri sampai berkeringat dan kelelahan? Belum pernah. Sementara, bapak dan ibu bekerja keras dengan berkeringat luar biasa agar kalian dapat hidup dengan layak dan baik.
Bapak tanya aturan mana dalam rumah ini yang membuat kamu menderita dan menurut kalian menunjukkan bapak kejam? Disiplin yang bapak terapkan di rumah ini bentuk kekejaman bapak? Kamu mau seperti anak-anak jalanan dan pasar yang semaunya itu?
Semua ini untuk bekal kalian nanti.
Saat nanti kalian sudah dewasa, kalian akan dituntut lebih berat dari apa yang bapak minta. Bapak berharap karena kalian sudah disiplin sejak kecil nanti kamu tidak pernah akan terkejut dan menderita.
Buah pendidikan keluarga saya yang keras itu saya rasakan dampaknya sekarang ini. Saya bersyukur bahwa saya pernah dididik dengan cara seperti itu.
Maka saya menerapkan apa yang saya alami untuk anak-anak saya, tetapi dengan cara sekarang.
Saya bilang ke anak-anak saya: “Ayo kita sama-sama bekerja keras, papa dan mama bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kalian maka kalian juga bekerja keras dalam belajar, les dan belajar membantu pekerjaan di rumah.”
Puji Tuhan anak-anak saya bisa mengerti dan terasa bahwa di keluarga kami saling mendukung,” bapak itu mengakhiri syeringnya.
Sering kali kebanyakan dari kita melihat penderitaan sebagai penderitaan tidak bisa melihat bahwa penderitaan bagian dari pendidikan dan pemurnian diri.
Sebagaimana sabda Tuhan sejauh diwartakan dalam surat kepada jemaat Ibrani:
“Saudara-saudara dalam pergumulanmu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah. Janganlah kamu lupa akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: ‘Hai anakku, janganlah meremehkan didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan oleh-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak'”
Bagaimana dengan aku?
Bagaimana aku melihat penderitaan dalam hidupku?