Bacaan I: 1Kor. 2: 1-5
Injil: Luk. 4: 16-30
DALAM suatu perjalanan mengunjungi guru-guru Inpres, ada pemandangan yang menarik perhatian saya. Seorang bapak tua, duduk bersandar di bawah pohon, caping ditaruh di lututnya, sedang tangannya memegah bilah bambu.
Bapak itu sedang mengawasi puluhan bebek miliknya yang sedang mencari makan di areal persawahan yang padinya telah dipanen.
Bapak itu tampak begitu serius mengawasi bebek-bebeknya sehingga seakan tidak peduli dengan lalulintas yang ramai di sekitarnya atau pun orang yang lalu lalang di dekatnya.
Bahkan saat saya duduk di sebelahnya pun beliau tidak terusik. Ketika saya menyapa untuk minta izin duduk di sebelahnya, beliau hanya menoleh sebentar mempersilakan saya sambil tersenyum lalu kembali perhatiannya ke bebek—bebeknya.
Ketika saya mencoba bertanya tinggal di mana, “angon” (menggembalakan) bebek dari jam berapa sampai jam berapa, bapak itu jawab singkat-singkat seolah tidak ingin diganggu.
Tetapi pada saat saya bertanya tentang bebeknya, wajah bapak itu tiba-tiba berubah. Yang tadinya kelihatan begitu serius berubah menjadi cerah berseri-seri.
Ia dengan antusias dan menarik menceritakan tentang bebeknya. Mulai dari jenis bebeknya, cara merawat, jenis penyakit, pembibitan, dan pemasaran telur beliau ceritakan dengan detil dan menarik.
Mendengar cerita bapak itu saya seperti orang yang sedang mendengarkan kuliah dari dosen luar biasa; menguasai bahan dan menjelaskan dengan menarik.
Mendengarkan ceritanya berkali-kali saya tertawa karena lucu, meski beliau menceritakan dengan serius. Setelah selesai mendengarkan cerita bapak itu dalam diri saya ingin beternak bebek. Artinya, ceritanya membuat saya begitu terpesona dan tertarik untuk melakukan sesuatu.
Bapak itu bisa bercerita dengan berbinar dan menarik, karena bebek itu yang selalu ada dalam pikirannya, dalam hati dan digelutinya setiap hari, bahkan setiap saat.
Beliau bisa hafal luar kepala segala sesuatu berkaitan dengan bebek tanpa teori yang aneh-aneh, karena bebek itulah hidupnya setiap hari. Beliau tidak menerangkan teori tentang bebek, tetapi beliau bercerita tentang hidupnya bersama bebek.
Sebagaimana pengalaman Santo Paulus mewartakan Yesus bukan dengan kata-kata hikmat dan indah tetapi mewartakan pergulatannya bersama Yesus:
“Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apapun di antaramu selain Yesus Kristus, Dia yang disalibkan.”
Kenapa aku mewartakan Tuhan sering kali tidak menarik dan kering meski sudah belajar berekspresi, membaca tafsir dan semacamnya?
Jawabnya sederhana, karena hidupku dan hari-hariku tidak sepenuhnya bergulat dengan Tuhan.