Hari Minggu Biasa IV
Bacaan I: Ul. 18: 15-20
Bacaan II: 1Kor. 7: 32-35
Injil: Mrk. 1: 21-28
DALAM sebuah acara retret, ketika selesai doa malam, ada satu peserta yang meminta waktu untuk ngobrol. Peserta itu seorang bapak muda dengan satu putera yang baru berumur dua tahun.
“Romo, apakah benar Tuhan itu mengampuni orang yang dosanya amat besar? Benarkah Tuhan seperti bapa yang baik yang diceritakan dalam Kitab Suci tadi?,” tanyanya memulai pembicaraan.
“Tuhan itu mencintai kita, dan selalu mencari setiap dari kita yang hilang, dan Ia tidak pernah memperhitungkan dosa dan kesalahan kita,” jawabku normatif.
“Romo, saya ini seorang pendosa besar, kelas kakap. Dosa terhadap orangtua dan terlebih pada isteri saya. Romo, saya ini penjahat, saya ini pecandu dan suka main perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan kecanduan saya dengan obat-obatan, saya selalu memeras orangtua, bahkan saya menjual barang-barang orangtua saya tanpa izin mereka. Berkali-kali saya overdosis, tetapi orang tua selalu menyelamatkan saya, tetapi saya tidak menjadi baik malah semakin ngawur.
Kemudian saya dijodohkan dengan anak teman mama, dengan harapan saya menjadi sembuh, tetapi malah isetri saya jadi korban. Dia bekerja dan uangnya saya habiskan untuk mabuk obat-obatan. Saya tidak pernah mau mendengarkan kata isteri saya, kalau dia mengingatkan saya, saya akan menjawab: Salah sendiri kenapa mau dijodohkan dengan saya. Berkali-kali itu kalimat itu menjadi senjata saya.
Sampai suatu kali, saya overdosis romo, saya tidak sadar. Ketika saya sadar, saya sudah di rumah sakit, dan saya lihat istri saya tidur di kursi. Saya lihat istri saya, saya pandangi isteri saya, muncul rasa kasihan dalam diri saya. Tetapi itu hanya sekejap karena saya merasakan sakit di dada dan perut saya.
Setiap malam, ketika saya terbangun, saya melihat isteri saya tidur di kursi menemani saya.
Saat saya sudah mulai nyaman, saya tanya ke isteri: “Kenapa kamu selalu tidur di sini? Aku ditinggal tidak apa-apa.”
“Tidak apa-apa, saya mau menemani kamu,” jawab istri saya.
“Ngapain kamu bela-belain nemenin saya, kalau kamu yang sakit saya juga tidak akan melakukan seperti itu. Apalagi aku selalu jahat sama kamu. Kenapa tidak kamu biarkan saja saya mati?” tanya saya.
“Saya mencintai kamu, aku tidak ingin kamu sendirian; kalaupun kamu harus meninggal, aku ingin ada di sampingmu untuk melepas kamu pergi,” jawab istri saya.
Romo, jawaban istri saya membuat saya seperti ditempeleng.
Saya pandang istri saya, “Kenapa orang secantik ini dan sebaik ini mau mencintai saya?” kata saya dalam hati.
Saya pegang tangan isteri saya, saya merasakan rasa nyaman dan aman. Untuk pertama kali saya merasakan apa yang saya sebut bahagia.
“Sampai kapan kamu mau seperti ini? Kalau kamu mau seperti ini terus, saya tetap akan menemani kamu, tetapi kasihan anak kita, dia butuh kamu, dia semakin besar, pasti pengin main sama papanya,” kata isteri saya.
Romo, sikap dan kata-kata istri saya itu dahsyat, membuat saya berubah dan membuat saya semakin mendekatkan diri pada dia, anak dan keluarga saya.
Satu hal, saya mau berubah, saya mau keluar dari dunia gelap saya, saya mau menjadi suami yang baik, bapak yang baik dan bisa menjadi teladan untuk anak saya. Saya ingin mewariskan cinta dan kebanggaan pada anak saya.”
Dia mengakhiri cerita kelamnya.
Kata-kata isterinya yang penuh cinta, memberi daya yang dahsyat bagi dirinya sehingga membuat dia berubah keluar dari dunia gelapnya menjadi manusia baru.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Markus, pengajaran Yesus yang penuh kuasa, menggerakkan rasa kepada mereka yang mendengarkan-Nya.
Rasa takjub, rasa heran akan kata-kata yang penuh daya itu mendorong orang-orang untuk semakin mendekat pada Yesus dan menjadi percaya. “Orang-orang takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah aku tergetar ketika mendengarkan sabda Tuhan?