Home BERITA Renungan Harian 5 Januari 2020: Merawat

Renungan Harian 5 Januari 2020: Merawat

0
Ilustrasi - Kenangan masa muda saat menikah. (Ist)


Bacaan I: 1Yoh. 4: 7-10
Injil: Mrk. 6: 34-44
 
SUATU sore, sore saya mengunjungi salah satu umat yang sudah sepuh dan sudah cukup lama menderita stroke. Karena stroke-nya, ibu itu menjadi kesulitan untuk beraktivitas, semua geraknya amat terbatas. Untuk bangun dari tempat tidur pun harus dibantu.
 
Ibu itu tinggal di rumahnya bersama putrinya yang sudah berkeluarga. Putri dan suaminya bekerja dari pagi dan pulang sudah menjelang malam, maka sehari-hari ibu itu ditemani oleh seorang perawat.

Untuk kebutuhan sehari-hari dan membiayai perawat serta obat-obatan ibu itu masih sanggup membiayai dirinya sendiri dari uang pensiun suami dan dirinya.
 
Ketika saya berkunjung, beliau menemui saya di ruang tamu dengan duduk di kursi roda ditemani perawat. Saat bertemu dengan saya beliau menangis sedih.

Saya terkejut kenapa tiba-tiba beliau menangis. Saya menemani dengan memegang tangannya. Tak berapa lama ibu itu bicara:

“Romo, saya sangat sedih, hati saya rasanya hancur.”

“Ibu kenapa? Apa yang membuat ibu amat sedih?,” tanya saya.

“Romo, sebulan yang lalu, anak saya ngomong bahwa sebaiknya saya tinggal di panti jompo. Menurut anak saya di sana akan lebih terawat dan banyak teman. Mungkin benar di sana saya banyak teman dan lebih terawat, tetapi di sana bukan rumah saya.

Rumah ini, rumah saya romo. Rumah ini memberi saya banyak kenangan dan saya nyaman dan damai di rumah ini. Tiga anak saya lahir dan besar di rumah ini. Kenapa saya harus ke rumah jompo? Apakah saya tidak boleh tinggal di rumah saya sendiri dan mati di rumah ini?
 
Romo, saya tidak mau merepotkan anak-anak saya, dan selama ini saya juga tidak merepotkan mereka. Saya hidup dari uang pensiun bapak dan pensiun saya sendiri, saya tidak pernah minta sepeser pun dari anak-anak.

Anak-anak dan cucu-cucu datang saya senang, saya bersyukur tetapi kalau mereka tidak datang, saya juga tidak pernah menuntut mereka datang; karena saya tahu mereka amat sibuk. Dengan anak yang tinggal serumah pun saya juga tidak pernah minta dia untuk selalu memperhatikan saya. Tidak romo, saya tidak mau merepotkan mereka. Tetapi kalau saya harus ke rumah jompo saya keberatan,” ibu itu menjelaskan.
 
Saya merinding dan sedih mendengar cerita ibu itu.
 
Pada kesempatan ulang tahunnya yang ke-70, saya diundang untuk berdoa, saya minta waktu kepada ketiga putra-putri dan menantunya untuk berbicara dengan mereka.

Saya menyampaikan kesedihan ibu mereka sebagaimana yang diceritakan kepada saya. Dan mereka terkejut dengan apa yang terjadi dengan ibu mereka. Kedua anak yang lain juga terkejut dengan adik yang mengusulkan pada ibunya untuk tinggal di rumah jompo tanpa bicara dengan kakak-kakaknya.

Saya mengingatkan kepada mereka bahwa tanpa ibu dengan segala pengorbanannya kalian tidak pernah akan menjadi seperti sekarang.
 
Mereka kemudian bergantian minta maaf kepada ibunya dan saling bertangis-tangisan. Ibu itu wajahnya nampak gembira dan mengatakan: “Ibu hanya ingin boleh mati di rumah ini.”
 
Sering kali banyak dari kita berpikir praktis dan pendek, lupa akan pengalaman cinta yang seharusnya mendasari pemikiran dan keputusan.

Cinta ibu kadang aku anggap memang seharusnya dilupakan, bahkan saat ia telah memberikan dirinya untuk kita sepenuhnya.

Sebagaimana sabda Tuhan sejauh diwartakan dalam Surat Yohanes bahwa Allah lebih dahulu mencintai kita; bukan karena aku memuji, mengabdi dan menghormati Dia, maka aku dicintai oleh-Nya.

Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah lah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai silih bagi dosa-dosa kita.”
 
Bagaimana dengan aku? Adakah aku menyadari dan merasakan bahwa aku telah dicintai terlebih dahulu oleh orangtua dan Tuhan?
 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version