Bacaan I: Nah. 1: 15; 2: 2; 3: 1-3. 6-7
Injil: Mat. 16: 24-28
DALAM perjalanan peregrinasi bersama Fr. Puspo (sekarang RomoPuspo Binatmo,SJ), saat kami sampai di sebuah desa di daerah Wonosari, kami merasa lapar. Waktu itu sudah lewat tengah hari.
Kami mengetuk sebuah rumah, seorang bapak keluar dan menyapa kami. Kami mengutarakan bahwa kami minta makan. Bapak itu mempersilakan kami masuk rumahnya dan ditanya dari mana, dan mau kemana.
Kami bercerita dari mana kami dan mau kemana tentu agak bohong, karena memang kami dilarang untuk mengatakan siapa diri kami. Saat mendengar bahwa kami sedang berziarah dengan jalan kaki tanpa bekal, bapak itu senang menyambut kami.
Sambil menemani kami makan, bapak itu mengatakan bahwa dirinya senang karena masih ada anak muda yang mau tirakat.
Beliau mengatakan: “Nak, tirakat itu penting untuk hidup kita. Dengan tirakat, kita itu mesu diri (melatih diri). Kita melatih diri untuk menguasai diri, menguasai hawa nafsu.
“Manungsa kuwi gendhong lali lan kebak kanepson, dadi gampang kelangan enggok lan lali marang sangkan paraning dumadi”. (Manusia itu mudah lupa dan penuh dengan hawa nafsu, sehingga mudah kehilangan arah dan lupa dengan asal dan tujuan manusia diciptakan.)
Tirakat menjadikan kita bisa menguasai diri dan hawa nafsu. Dengan demikian kita bisa fokus dengan tujuan hidup kita, tidak mudah tergoda oleh banyak keinginan yang didorong oleh nafsu, dan tidak menjadi silau dengan kenikmatan dan kedudukan.
Musuh paling besar dan paling berat bagi kita adalah diri kita sendiri dan hawa nafsu kita. Maka kita harus bisa mengalahkan diri sendiri dan hawa nafsu kita agar hidup kita tidak terombang ambing.
Nak, tirakat itu berat, karena melawan dan menyangkal segala keinginan badan wadag (tubuh), maka hal yang penting adalah ikhlas. Ujungnya kita akan mengalami kebahagiaan batin.” Nasehat bapak yang luar biasa. Bahkan kemudian bapak meminta kami untuk mengunjungi beberapa tempat untuk “ngalap berkah” (memohon berkat).
Nasehat bapak itu memudahkan saya untuk memahami Sabda Tuhan sejauh diwartakan Matius: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikuti Aku.” Menyangkal diri agar aku fokus untuk mengikuti Tuhan, di jalan Tuhan. Tidak mudah untuk tergoda yang menyebabkan aku tersesat.
PS: Peregrinasi adalah salah satu bentuk pendidikan di novisiat belajar bergantung pada penyelenggaraan ilahi dengan cara berjalan kaki. Menempuh jarak kurang lebih 400 km selama 10 hari tanpa bekal apa pun.