Bacaan I: 1Yoh. 4: 19-5: 4
Injil: Luk. 4: 14-22a.
SORE itu saya mengunjungi keluarga aktivis paroki. Saya sebut sebagai keluarga aktivis karena memang sekeluarga aktif semua di kegiatan paroki. Suami-istri selalu terlibat dalam berbagai kegiatan paroki.
Bahkan dalam setiap kepanitiaan suami-istri ini selalu terlibat. Sedangkan kedua putra-putri mereka aktif dalam kegiatan misdinar maupun orang muda katolik.
Bahkan putra yang pertama bukan hanya aktif dalam kegiatan paroki tetapi lebih dari itu aktif dalam kegiatan keuskupan.
Karena saya agak bingung menemukan rumah keluarga itu, maka saya berhenti di sebuah warung untuk bertanya. Hal yang mengejutkan adalah beberapa orang yang berada di warung kenal dengan keluarga itu; hanya mereka menyebut “si songong” (orang yang sombong).
Salah satu orang di situ bertanya: “Bapak temannya ‘si songong’ ?”
“Iya pak, bapak itu teman saya,” jawab saya.
“Bilangin sama temannya jadi orang jangan sombong. Setiap diajak kegiatan warga selalu alasan ke gereja. Tetangga meninggal boro-boro nyumbang, ngelongok juga tidak,” kata bapak itu dengan sinis.
“Baik pak, terima kasih,” jawab saya.
Di rumah keluarga aktivis itu, saya diterima oleh semua anggota keluarga. Bapak dan ibu itu bergantian menceritakan kegiatan mereka dan putra-putri mereka dengan bangga.
Bapak menjelaskan bahwa setiap malam selalu ada doa bersama, dan untuk ke gereja, mereka mengusahakan selalu bersama.
“Kami bersyukur romo atas keluarga kecil kami,” bapak itu menutup ceritanya.
Setelah misa hari minggu, saya bertemu dengan ketua lingkungan tempat keluarga aktivis itu tinggal. “Romo, romo kemarin berkunjung ke keluarga bapak itu?” tanya ketua lingkungan.
“Iya benar, saya jadi berkunjung,” jawab saya.
“Romo, lain kali kalau kunjungan lagi tolong diberitahu agar keluarga itu terlibat di lingkungan. Mereka itu tidak pernah ikut di lingkungan alasannya sudah sibuk di paroki. Iuran lingkungan yang tidak seberapa saja tidak pernah bayar. Mereka itu sombong lho Romo, mereka tidak mau menyapa kita. Mereka itu ramah dengan kita, kalau di gereja. Kalau di luar gereja seperti orang yang tidak kenal,” kata ketua lingkungan.
Saya agak terkejut mendengar cerita ketua lingkungan itu, yang seolah mengkonfirmasi apa yang dikatakan bapak-bapak yang di warung.
Saya bertanya dalam hati: “Mengapa orang yang aktif bahkan amat aktif di gereja, dan di gereja selalu ramah dengan semua orang, tetapi orang-orang di sekitarnya justru mendapatkan kesan yang lain. Mengapa keluarga katolik yang saleh justru tidak bisa berbaur dengan lingkungan sekitar?”
Kiranya ini yang disebut dengan kesalehan ritual. Orang terjebak dengan ritual keagamaan.
Orang yang menjadikan agama dengan segala liturginya sebagai tujuan, mereka lupa atau tidak tahu bahwa agama dengan segala liturginya adalah sarana agar orang semakin mencintai Tuhan Allah dan sesamanya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Surat Yohanes: “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” tetapi ia membenci saudaranya, ia adalah seorang pendusta, karena barang siapa tidak mengasihi saudaranya yang ia lihat, tidak mungkin ia mengasihi Allah yang tidak ia lihat.”
Bagaimana dengan aku?
Jangan-jangan aku bagian dari mereka yang terjebak pada kesalehan ritual.