Minggu Biasa XXXII
Bacaan I: Keb. 6: 13-17
Bacaan II: 1Tes. 4: 13-18
Injil: Mat. 25: 1-13
SETELAH misa sore, seorang bapak yang sudah sepuh menemui saya. “Selamat sore, romo,” sapanya.
“Selamat sore pak, apakabar? Sehat?,” jawabku.
“Pengestunipun romo, sehat, matur nuwun. Maaf, romo kapan romo punya waktu, saya minta romo memberkati beberapa barang di rumah,” kata bapak itu.
“Tidak bisa dibawa ke sini ta, karena banyaknya?,” tanyaku sambil tersenyum.
“Berat romo,” jawabnya. “Baik Pak, nanti kita atur waktunya,” jawabku.
Pada hari yang sudah kami sepakati, saya datang ke rumah bapak itu untuk memenuhi permintaannya. Setelah sampai di rumahnya, saya diajak masuk ke sebuah “gudang” untuk memberkati benda yang bapak maksud.
Saya amat terkejut karena benda yang akan diberkati ternyata peti mati, pakaian dan perlengkapan pemakaman.
“Pak, ini untuk siapa?,” tanyaku.
“Untuk saya romo,” jawabnya.
“Loh, bapak kapan mau meninggal? Sekalian saya atur jadwal untuk misa requiem,” kata saya sambil tertawa.
“Ha…….ha romo ini ada-ada saja. Saya tidak tahu romo,” jawabnya.
“Lha terus kenapa menyiapkan ini semua? Kalau nanti masih lama bagaimana?,” tanyaku.
“Romo, semua ini untuk siap-siap, supaya kalau setiap waktu Tuhan memanggil “uba rampe” (perlengkapan) untuk pemakaman saya sudah siap,” jawabnya.
“Romo, meskipun saya menyiapkan semua ini, bukan berarti saya mengisi hidup saya dengan menunggu saat itu tiba. Saya tetap akan menjalani hidup saya seperti biasa dan bekerja seperti biasa. Dengan menyiapkan “uba rampe” itu menjadi pengingat bagi saya, agar saya selalu siap bila sewaktu-waktu Tuhan memanggil. Kalau Tuhan belum memanggil berarti Tuhan memberi kesempatan agar saya memantas diri. Saya tidak tahu kapan waktunya tiba, saya juga tidak mau “nggege mongso” (memaksakan waktunya). Saya amat sadar waktu itu milik-Nya, kewajiban saya hanyalah menyiapkan diri agar pantas,” Bapak itu menerangkan keheranan saya.
Dalam perjalanan pulang, saya merenungkan apa yang dikatakan bapak itu.
Bagiku pengalaman yang luar biasa bagaimana seseorang menyiapkan diri untuk menyambut kematian.
Perjalanan pulang ke pastoran saya menyanyi lagu “Bist du bei mir, geh ich mit Freuden, Zum Sterben und zu meiner Ruh…..” (Jika Engkau bersamaku, aku berjalan dengan bahagia menuju kematian dan istirahatku).
Pengalaman bapak itu seperti sabda Tuhan sejauh diwartakan St. Matius: “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun saatnya.”
Bagaimana aku mempersiapkan diriku menyambut “waktuku”?