Renungan Harian Jum’at, 28 Mei 2021
Bacaan I: Sir. 44: 1. 9-12
Injil: Mrk. 11: 11-26
BEBERAPA waktu yang lalu, saya bersama dengan beberapa bapak muda ngobrol di sebuah café. Kami ngobrol-ngobrol tentang pengalaman bapak-bapak muda dalam menjalani hidup perkawinan di era digital ini.
Saya meminta mereka syering, karena penting bagi saya dalam rangka pendampingan calon pengantin.
Tidak berapa lama datang bapak muda yang kenal dengan bapak-bapak ini, sehingga diajak bergabung.
Karena saya belum kenal maka saya berkenalan.
Salah satu bapak muda bercerita bahwa ini sedang ngobrol-ngobrol aja tentang keluarga dan mimpi-mimpi ke depan.
Teman yang baru datang itu tiba-tiba bercerita tentang mimpinya ke depan.
Ia bercerita bahwa mimpinya ke depan adalah ingin mematikan bisnis beberapa orang yang disebut namanya.
Kalau bisa mematikan bisnis orang-orang itu, dia akan membeli aset-asetnya. Ia bercerita bahwa sebagian aset-aset yang dimiliki orang-orang itu sebelumnya adalah aset-aset milik bapaknya.
Salah seorang bapak bertanya apakah orang-orang itu membohongi bapaknya untuk mengambil aset-aset itu.
Ia bercerita, bahwa pada saat itu bapaknya sakit sehingga usahanya turun sehingga untuk menutup hutang dan biaya pengobatan bapaknya menjual aset-asetnya dan dibeli oleh orangtua orang-orang itu.
“lho kalau begitu aset-aset itu pindah tangan dengan sah dong,” celetuk salah satu bapak.
“Iya memang sah, tetapi bagaimanapun juga itu kan milik bapak saya. Jadi saya harus merebut kembali,” jawab teman yang baru datang itu.
“Bro, cita-citamu luar biasa. Tetapi jangan dengan cara mematikan begitu. Itu dendam bro gak baik,” teman lain mengingatkan.
“Gaklah, tidak dendam apa pun cuma saya mau merebut aset-aset itu. Sori, ya saya tidak butuh nasihat kalian, saya cuma cerita aja. Semua mah urusan saya, mau mematikan atau mau apa; bagi saya yang penting bisa merebut aset-aset itu,” jawab teman yang baru datang itu dengan tidak senang.
Tidak berapa lama setelah menjawab itu dia pamit pergi.
“Maaf Romo, teman kami yang satu itu memang seperti itu. Saya tidak tahu, tetapi kalau ngomong seperti orang yang punya dendam. Tetapi dia tidak pernah merasa punya dendam. Anehnya kalau disinggung soal dendam, dia akan mengalihkan pembicaraan atau langsung pergi,” salah satu bapak itu menjelaskan.
“Tidak apa-apa,” jawab saya.
Ketika mendengar bapak muda bercerita, saya (tanpa bermaksud menghakimi) merasa ada dendam dalam kisahnya.
Meski dia tidak mengakui tetapi dari cara bercerita, ekspresinya yang dingin dan emosinya dalam bercerita menunjukkan adanya dendam.
Betapa kasihan orang muda itu kalau benar hidupnya menggendong dendam.
Dendam disadari atau tidak membuat dirinya menderita dan hidupnya sering dituntun oleh perasaan dendam itu.
Tidak mudah untuk melepaskan diri dari dendam, karena mengandaikan keberanian, kemampuan dan kemauan untuk mengolah luka.
Sementara yang terjadi banyak orang menyembunyikan atau melupakan luka alih-alih mengolahnya.
Dengan menggendong luka relasi dengan liyan akan lebih dituntun oleh rasa dendamnya dari pada kasih.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Markus menegaskan betapa penting seseorang belajar mengampuni agar tidak menggendong dendam.
“Dan jika kalian berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hati terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di surga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah dalam peziarahan hidupku aku masih menggendong dendam?