UNGKAPAN itu tidak biasa. Yang biasa adalah kita mempercayakan diri kepada Yesus.
Pertama kali saya membacanya, saya terkejut dan merasa tertarik. Apalagi ungkapan itu dituliskan oleh almarhum Kardinal Carlo Maria Martini SJ, Uskup Agung Milano, ahli Kitab Suci dalam buku-nya “Perjalanan Rohani Para Murid”.
Kebetulan saya pernah melihat Kardinal Martini karena beliau sering muncul di TV Italia tahun 1990an ketika saya ada di Roma. Wajahnya tampan, perawakan tinggi, mata biru, otaknya cerdas dan beliau duduk dengan latar belakang Katedral Milano yang indah. Ditambah lagi dengan pakaian Kardinal warna merah yang membuat orang kagum akan perpaduan antara: ketampanan, keindahan, kecerdasan dan kebaikan hati.
Tetapi yang ingin saya tuliskan di sini adalah refleksi Kardinal tampan itu tentang makna penderitaan Yesus – dan penderitaan kita juga.
Saya mulai dulu dengan apa yang ditulis oleh Albert Nolan OP, tentang keputusan pertama Yesus dalam Markus 6: 29 – 34 yang pergi menyingkir ketika Yohanes Pembaptis dibunuh oleh Herodes. Nolan sudah menjelaskan bahwa Yesus menyempal dari “gerakan kultis” Yohanes Pembaptis dan beralih kepada “gerakan sosial Kerajaan Allah.” Dan momennya terjadi dalam peristiwa seperti yang diceritakan dalam Injil Markus 6 itu dan paralelnya dalam Mateus 14 dan Lukas 9.
Yesus memutuskan untuk tidak melanjutkan gerakan kultis liturgis Yohanes dengan membaptis orang–orang sebagai tanda pertobatan untuk menyambut datangnya kerajaan Allah. Bahkan Yesus sendiri sepertinya tidak pernah melakukan pembaptisan, karena yang Dia lakukan adalah mengajar, mengusir roh–roh jahat, menyembuhkan orang sakit dan memberi makan orang lapar yang jumlahnya sampai 5000 orang laki–laki, tidak dihitung perempuan dan anak-anak. Titik balik itu terjadi dalam perikop Injil–injil yang saya sebutkan di atas tadi.
“Ketika Yesus mendarat, ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala.” (Mrk. 6: 34). Yesus tampil bukan seperti seorang pemimpin agama di Bait Allah, melainkan sebagai seorang pejuang kemanusiaan yang selalu berada di tengah–tengah manusia dengan segala kebutuhan dan penderitaan mereka. Kalau Yesus perlu berdoa, Ia naik ke atas bukit dan berdoa semalam–malaman kepada Bapa-Nya. Kalau Ia masuk Bait Allah, bukan untuk berdoa melainkan untuk mengajar. Di dalam Bait Allah ia membaca Kitab Suci dan mengatakan bahwa, “semua yang kamu dengar tadi sudah digenapi ketika kamu mendengarnya.”(Luk. 4: 21).
Keputusan Yesus untuk memihak kaum miskin, orang terlantar dan menderita yang bagaikan domba tanpa gembala itu terus berlanjut tanpa pernah mundur. Yesus telah tiba pada the point of no return atau sudah kepalang basah dan sudah kepalang tanggung. Namun, ungkapan itu tidak tepat, karena seolah–olah ada keterpaksaan atau pengkondisian yang membuat Yesus harus menjalani semua itu. Keputusan dan kebebasan kehendak Yesus untuk memihak manusia, itulah kuncinya. Yesus juga tidak peduli dengan janji Pilatus bahwa ia berkuasa untuk membebaskan-Nya. Dan Yesus menjawab Pilatus, “Kamu tidak punya kuasa apapun atas diri Saya.” (lihat Kisah Sengsara Injil Yohanes).
Kardinal Martini menjelaskan tentang tiga kali Yesus memberitahukan penderitaan dan kematian-Nya dalam: Mrk 8: 31–37; Mrk 9: 31–32 dan Mrk 10: 32–34. (Babnya berurutan 8–9 -10, dan ayatnya sama, pada ayat 30-an ke atas). Yesus memberitahukan bahwa ia akan ditolak oleh para pemimpin agama Yahudi, akan ditangkap dan disalibkan, dan pada hari ketiga akan bangkit. Hal itu dikatakan-Nya dengan terus terang dan membuat Petrus tidak mau menerima hal itu dan Yesus memarahinya: “Enyahlah Iblis, sebab Engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mrk. 8: 33).
Menurut Martini, sebenarnya umat Gereja Perdana sendiri juga bingung untuk memahami apa yang telah terjadi pada Yesus itu. Dan lebih bingung lagi bagaimana menjelaskan dan memberi makna dari semua yang telah terjadi itu. Yesus adalah orang baik yang tanpa ada alasan apa pun untuk dihukum, namun Ia telah dihukum mati di kayu salib. Dan jangan lupa, semua Injil ditulis oleh komunitas umat kristiani pertama yang percaya kepada Yesus dan sedang mewartakan Yesus yang telah bangkit dan naik ke surga, supaya siapa yang percaya memperoleh keselamatan.
Dan inilah katekese Injil Markus untuk para katekumen pada masa Gereja Purba: “Kamu mau percaya kepada Yesus? Tetapi kamu tahu siapakah Dia? Dia adalah seorang manusia yang telah dihukum mati di salib. Apakah ada sesuatu yang baik dari mati dan salib? Penderitaan yang mengerikan itu sungguh–sungguh tragis dan tanpa makna. Mati adalah peristiwa yang pasti dan manusia menjadi penuh misteri justeru pada saat kematiannya. Pada saat kematian itu, manusia menjadi sama dengan dirinya sendiri.
Bagaimana dengan makna kematian Yesus? Makna kematian Yesus nampak dalam “kemauan-Nya untuk menerima kematian itu dengan rela”. Kardinal Martini menekankan “Kehendak Yesus” yang menyingkapkan seluruh makna penderitaan dan kematian-Nya. “Quia ipse voluit” (Yes 53:7; yang menurut Martini ada dalam teks Latin Vulgata dan juga teks Ibraninya dalam Yes 53: 10a dan 12c).
Dalam kisah sengsara pun diceritakan tiga moment di mana Yesus berbicara tentang kematiannya. (1) Ketika Ia diurapi di Betania (Mrk 14:8) (2) Ketika Ia merayakan perjamuan akhir (Mrk 14: 21) dan (3) di Taman Getsemani (Mrk. 14: 36).
Tidak ada seorang pun yang dengan kebebasan, kesengajaan, keberanian, tahu dan mau menyongsong kematian-Nya atau mempersiapkan diri untuk kematiannya, seperti yang dilakukan oleh Yesus.
(Saya harus beralih sejenak pada fenomena lain: (1). Orang yang bunuh diri; (2) orang yang akhirnya menerima kematian sebagai tahap ke-5 dalam penelitian Elisabeth Kübler Ross tentang lima tahap reaksi manusia berhadapan dengan “terminal ill” (3) fenomena aneh di Amerika di mana seorang wanita yang divonis kanker otak dan akan segera meninggal, maka hakim memenangkan hak-nya untuk memperoleh “obat bunuh diri” yang akan dipakainya pada hari di mana ia memutuskan untuk mati. Ini fenomena “kebebasan mutlak” hak menentukan diri sendiri dalam perspektif egosentrik yang sangat aneh).
Umat Gereja Perdana menemukan makna penderitaan Yesus dan serentak juga makna kebangkitan-Nya yang begitu menguhkan iman mereka. Pertama: Cinta kasih Yesus kepada orang banyak yang sampai dengan rela menanggung resiko apa pun, termasuk sengsara dan kematian di salib, telah memberikan makna yang luar biasa bagi hidup mereka. Mereka merasa sangat dikasihi oleh Yesus atas cara yang sedemikian itu. Jadi mereka merasa diselamatkan bukan oleh kematian Yesus di salib, melainkan oleh Cinta Yesus yang sampai rela mati di salib. Itu beda. Kedua, para umat kristen perdana itu juga bisa melihat makna penderitaan dan kematian mereka sendiri dengan cara menyatukan penderitaan mereka itu dengan penderitaan Kristus; Kalau orang menderita sebagai konsekuensi dari sebuah komitmen dan memperjuangkan kebaikan, maka ia tidak usah takut dan gentar. Penderitaan semacam itu bisa membuat mereka mendapatkan maknanya di dalam perjuangan dan penderitaan Kristus. Bagi mereka, bahkan mati pun menjadi cara untuk menjadi satu dengan Kristus dan masuk ke dalam pengalaman kematian bersama Kristus.
Dan terakhir, alasan Yesus berani menanggung semua risiko itu adalah: Dia telah mempercayaan diri-Nya kepada orang banyak itu. Dia rela mati untuk bisa bersama – sama dengan mereka semua dan untuk bisa selalu bersama – sama dengan mereka.
“Makna terdalam dari penderitaan Yesus ambil alih dari ungkapan oleh Nabi Yesaya, “ Sebab ia menghendaki” (Yes 53,7). Penderitaan Yesus bukanlah kebetulan, melainkan Yesus sendirilah yang menerima sepenuh – penuhnya penghinaan yang luar biasa itu, dan demikianlah penderitaan itu mulai menemukan maknanya, karena menjadi actus humanus dari Yesus.
Yesus menyongsong kematian, karena Ia telah menghendaki untuk datang mendekati kita sepenuh – penuhnya (fino in fondo), yaitu bahwa Ia tidak mau menarik diri lagi ke belakang menghadapi konsekuensi apapun demi “kebersamaannya dengan kita”, Dia mempercayakan diri-Nya sepenuhnya kepada kita.
Di bawah ini bahasa Itali dari Kardinal Martini.
“Il senso fundamentale da essi espresso, cioè la passione di Gesù, è mutuato dal profeta Isaia: “quia ipse voluit” (Is 53, 7). La passione non è accidentale, ma è Gesù stesso che ha accettato fino in fondo questa estrema umiliazione; allora essa comincia da acquistare un senso, perché diventa un atto umano di Gesù.
Gesù è andato incontro alla morte, perché ha voluto venirci incontro fino in fondo, cioè non voluto ritirarsi indietro di fronte a nessuna consequenza del suo essere con noi, affidandosi a noi completamente.”
Semoga seperti Yesus telah mempercayakan diri-Nya sepenuhnya kepada kita, demikian kita berani mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Yesus. Dan dengan perantaraan Yesus kepada Allah Bapa di sorga, dan kita percayakan di dalam Roh Kudus. Amin.