Home BERITA Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan di Awal Tugas (4)

Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan di Awal Tugas (4)

0
Öèôðîâàÿ ðåïðîäóêöèÿ íàõîäèòñÿ â èíòåðíåò-ìóçåå Gallerix.ru

Kejutan di awal tugas

PADA bulan Desember 2005, saya ke Spanyol menghadiri pertemuan para Superior SY di Loyola/Xavier. Dalam pertemuan pribadi dengan Pater Jenderal, beliau menyuruh saya memulai proses mencari pengganti di Thailand; ketika saya menawarkan diri untuk misi China, beliau menjawab secara humor dengan membuka kedua tangan lebar-lebar dan bagaikan deklamator berseru, “YES, your blood is calling you!”

Maklum, beliau pernah menerima pengaduan tentang buku Pengakuan Maria Magdalena Lie Chung Yen! (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Lie Cha Lie Chu Lie Chung Yen (1)

Waktu diadakan piknik untuk peserta rapat, saya bergabung dengan grup yang mengunjungi Museum Gugenheim di Bilbao. Malas berlama-lama di Museum, saya berkeliaran di toko buku antik seberang Museum. Saat itu saya terpukau oleh satu kitab kumpulan lengkap karya St. Theresia Avila (Pembaharu Ordo Karmelit, abad ke-16) yang dipamerkan di etalase. Meskipun buku itu tidak saya beli karena ransel sudah terisi penuh pakaian dan dokumen rapat, bayangan buku itu berulang kali muncul di layar batin bila saya berdoa.

Saya pun merasakan hal itu sebagai tindakan simbolis Tuhan memanggil saya kembali ke arah hidup pertapaan. Gerakan batin ini terasa bagaikan hembusan angin sepoi basah, yang semakin hari semakin meresap di hati dan semakin kuat, apalagi karena sebelum ke Manila saya diberi kesempatan meninjau karya SY di China dan Jepang. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)

Selama tinggal di pulau terpencil Taikham di Laut Cina selatan, tempat penampungan para penderita kusta (Maret 2006), bayangan hidup pertapaan semakin menggugah batin saya; bahkan timbul keinginan kembali ke pulau itu setelah selesai tugas di Manila. Tiga suster India yang merawat para penderita kusta di situ bergembira mendengar ide ini; mereka tunjukkan sebuah gua, ideal untuk tempat tinggal pertapa; mereka pun rindu setiap hari dapat menikmati perayaan Ekaristi. Kunjungan ke kuil-kuil Zen di Tokyo dan Kyoto (April 2006) semakin menguatkan dorongan untuk hidup sebagai pertapa.

Saya mulai bertugas di Manila dalam keadaan batin semacam ini, tapi segala kecenderungan batin ini saya kesampingkan jauh-jauh dalam sudut hati yang paling tersembunyi dan saya fokuskan diri dalam tugas baru di Manila. Dalam hati saya berkata bahwa saya musti menyelesaikan dulu masa jabatan ini dan sesudah itu barulah saya akan berpikir lagi akan panggilan pertapaan.

Baru tiga minggu di Manila, datang SMS mengejutkan: Mami dalam keadaan kritis di RS. Pengalaman traumatis menerima kabar Papi dalam keadaan koma ketika saya baru sampai Inggris (1990) terulang kembali; saya bergegas ke Jakarta. Saya sadari juga bahwa selama ini saya menunda-nunda menjawab panggilan “meninggalkan dunia” dan “masuk ke padang gurun” karena kuatir akan Mami yang sudah lanjut usia (88 thn) dan membutuhkan perawatan khusus.

Setelah masa kritis berlalu, Mami pulih kembali dan boleh pulang ke rumah; saya pun kembali ke Filipina. Sejak kembali ke Manila dorongan batin ke arah pertapaan semakin kuat saya rasakan; seakan Tuhan bertanya, “Apakah keterikatan pada Ibumu mengalahkan panggilanKu ke pertapaan?”

Dorongan itu menimbulkan konflik batin lain: dari satu pihak musti menjadi pemimpin kaum muda Yesuit tapi dari lain pihak saya sendiri mengalami bahwa batin saya semakin ditarik untuk meninggalkan SY dan meniti jalan pertapaan. Konflik batin ini suatu saat begitu memuncak sehingga malah membuat saya jengkel.

Sore itu, Sabtu 2 September 2006, saya sedang berjalan-jalan menyegarkan pikiran di tepi sebuah sungai seberang shopping-centre dekat residensi kami. Dalam kejengkelan, merasakan tarikan untuk tetap di SY dan tarikan untuk ke pertapaan, mengamati muda-mudi Filipina dengan aneka ragam gaya dan pakaian yang lalu lalang dengan bebas di tepi sungai itu sambil menantikan malam Minggu, saya seakan terdorong berontak pada Tuhan dan berseru, “Saya bebas melakukan apa pun yang saya maui! Tidak harus menuruti panggilan-Mu! Wong sudah enak-enak di SY kok ya masih dioprak-oprak terus untuk jadi pertapa!”

Saat itu malah timbul pikiran untuk melupakan segala hal, baik SY maupun pertapaan, seolah-olah muthung, tak mau repot-repot lagi akan panggilan Tuhan apa pun itu halnya, mau jadi awam biasa saja.

Tapi saat itu juga seakan ada suara dari langit yang bergema di batin saya, “Kau diciptakan untuk suatu rencana!”

Saya pun terperangah dan cuma bisa berdesah, “Ya, Tuhan! Aku diciptakan untuk rencana-Mu, dan betapa gelisah hatiku sebelum rencana-Mu itu terlaksana sepenuhnya dalam hidupku!”
Saya terinspirasi oleh ucapan St. Agustinus, “Ya Allah, kepada-Mulah kami diciptakan dan betapa gelisah hati kami sebelum kami beristirahat di dalam Dikau!”

Saat itu pula terlihat di kejauhan menara sebuah gereja di tepi sungai, dan saya pun berjalan ke sana. Ternyata gereja itu dikhususkan untuk pusat devosi Kerahiman Ilahi. Di hadapan lukisan khusus devosi ini, Tuhan Yesus dengan cahaya warna merah dan putih yang memancar dari Hati-Nya yang Maha Kudus, dengan tulisan “Jesus I trust in you” di bawah kaki-Nya, saya diingatkan kembali akan Kasih Allah semata-mata. Kasih itu pula yang telah menyentuh saya di retret akhir SMA dan mendorong saya untuk memutuskan menjadi imam.

Saya pun tersadar bahwa panggilan-Nya itu berdasarkan Cinta Kasih tanpa batas, tanpa paksaan apa pun, sekedar undangan penuh kasih. Hati saya tersentuh, melunak dan terbuka, Kasih hanya layak ditanggapi dengan kasih pula. Saya pun berlutut di hadapan lukisan Tuhan Yesus dan berdoa menyerahkan diri apa pun kehendak Tuhan atas diri saya.

Hati boleh saja menyerah, tapi pikiran jalan terus, otak berkutat terus dengan segala macam konflik pertimbangan. Ketika pulang ke kolese, saya mendapat jawaban e-mail dari seorang pemuda Thai (17 thn). Sehari sebelum itu, tidak ada angin tidak ada hujan, ia kirim e-mail bertanya bagaimana kabar saya, padahal sejak akhir Maret ketika ia dan orangtuanya menjamu saya sebagai perpisahan, belum pernah ia kirim e-mail.

Karena sudah saya pendam sekian lama tanpa bisa sharing kepada siapa pun, tanpa pikir panjang saya pun mengungkapkan pengalaman konflik batin saya dan jalan keluar kejengkelan yang terpikir saat itu, yaitu tidak usah jadi Yesuit tidak usah jadi pertapa, tapi jadi awam biasa saja, kalau perlu menikah (kalau masih laku lho ya!), habis perkara!

Ternyata ia menjawab dengan penuh kebijaksanaan, “Well, Anda sedang melangkahi sebuah ambang pintu. Anda bisa memilih jalan kebahagiaan yang gampang … tapi cuma untuk sesaat saja, atau Anda bisa memilih jalan yang lebih sulit, jalan yang akan membawa Anda ke kebahagiaan abadi, mematahkan lingkaran Samsara, berada bersama Tuhan!”

Sungguh kalimat sederhana pemuda itu membawa semacam pencerahan; berbagai konflik pikiran saat itu sirna begitu saja, bagaikan ruang gelap yang segera menjadi terang begitu jendela-jendela dibuka karena ada cahaya matahari yang masuk.

Tuhan pernah memakai saya untuk menolong pemuda Thai beragama Buddha ini yang nyaris bunuh diri karena gagal masuk SMA unggulan di Bangkok. Karena dia tak mau menemui biksu Buddhis mana pun, orangtuanya -dalam kebingungan mereka- mendatangkan saya, Biksu Thong yang Katolik. Setelah kami omong-omong dari hati ke hati, semangat hidup bangkit dalam hatinya. Kini Tuhan ganti memakai pemuda itu untuk menolong saya keluar dari konflik batin.

Sehari kemudian saya pergi ke Novisiat SY Hati Kudus Yesus agak di luar kota Manila untuk mengadakan retret tiga hari sambil merenungkan dalam keheningan doa apa yang musti saya lakukan. Padre Nunez, pembimbing retret, memperingatkan, “Yang penting bukan jadi Yesuit atau jadi pertapa, jadi ini atau jadi itu. Yang penting, manakah yang dikehendaki Tuhan bagi dirimu!”

Dengan sikap batin itulah saya mengawali retret. Minggu itu, 3 September 2006, seharian saya cuma berdoa mengucapkan doa yang diajarkan imam Eli kepada Samuel muda, “Bersabdalah ya Tuhan, hambamu mendengarkan!” (1 Samuel 3:9). Setelah berminggu-minggu sulit tidur di kolese, suasana rumah retret yang hening membantu saya tidur pulas begitu meletakkan kepala di atas bantal sesudah makan malam.

Menjelang jam tiga pagi saya terbangun dan meskipun kamar gelap gulita tetapi terasa terang benderang. Pikiran terasa begitu jernih dan batin begitu bening. Masih sambil berbaring, muncullah dalam hati keyakinan dan kemantapan luar biasa mengenai langkah yang musti diambil. Saya mendadak mengerti begitu saja bahwa saya memang harus meninggalkan SY dan mengikuti panggilan sebagai pertapa.

Saya coba bertanya, “Ya, tapi pergi kemana dan bagaimana?”

Ada jawaban dalam batin, “Satu demi satu, langkah demi langkah, per tahap akan ditunjukkan kepadamu!”

Saya mencoba menyangsikan atau membantah keyakinan itu, tapi tidak bisa. Yakin ya yakin, tidak ada kata “tetapi” lagi. Musti pergi ya pergi, meski musti meninggalkan Serikat Yesus, bunda pengasuh saya tercinta selama 33 tahun. Soal ke mana ya kita lihat saja nanti. Yang terasa hanyalah suka cita dan kedamaian batin yang amat mendalam.

Selama ini sejak peziarahan 1977, meskipun selalu ada kecenderungan ke pertapaan, saya tak berani bertindak karena tak ada keyakinan mantap seperti yang sekarang ini saya alami. Barulah saya mengerti mengapa St. Matius dll. bisa langsung meninggalkan keluarga, pekerjaan yang tengah dilakukan, dan segala sesuatu begitu mendengar seruan Yesus, “Ikutilah Aku!”

Kemudian selama retret memang muncul langkah konkret yang musti saya tempuh, yaitu bergabung dengan Ordo Karthusian. Uraian terperinci mengenai Ordo yang didirikan hampir seribu tahun yang lalu ini (th. 1084), yang saya baca di website resmi mereka (www.chartreux.org), amat mengesankan hati saya, terutama ungkapan yang dipakai oleh Pendiri Ordo ini, St. Bruno (abad 11), untuk menggambarkan semangat hidupnya, yaitu “dibakar oleh Kasih Ilahi …. meninggalkan yang fana … dan meraih yang abadi…” senada dengan e-mail pemuda Thai yang saya terima sebelum retret, dan sepaham dengan gagasan Papi dalam surat terakhir.

Semalam-malaman, ungkapan St. Bruno tersebut dalam bahasa Latin seperti saya baca di internet, “fugitiva relinquere et eterna captare.. meninggalkan yang fana … dan meraih yang abadi” bergema terus dalam hati saya.

Padre Nunez, yang semula menghalangi saya meninggalkan Serikat Yesus, di akhir retret dengan bersemangat menyuruh saya segera menulis minta izin transfer Ordo kepada Pater Jenderal. Saya bersyukur bahwa beberapa teman Yesuit (Rm. Meehan, Rm. Bulatao, Rm. Pollock) menemani saya dalam proses pengambilan keputusan yang sulit ini, begitu pula Superior saya di Manila (Rm. Adolfo) maupun Indonesia (Rm. Priyono). Pada Pesta St. Matius, 21 September 2006, saya mengirim surat ke Pater Jenderal.

Dari Roma, lampu hijau diberikan asalkan ada pertapaan yang menampung. Sayang, pertapaan Karthusian di Korea (sejak 2004) hanya menerima calon Korea. Pertapaan Karthusian di Italia, yang saya hubungi pertama kali, tidak segera memberikan balasan; inilah pilihan pertama saya karena banyak teman di Italia dan membayangkan makan spaghetti atau macaroni tiap hari! Setelah berhari-hari tanpa jawaban dari Italia, saya pun menulis ke Inggris; dalam sehari datang jawaban positif. (Baca:  Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan Tertunda-tunda (3)

Pada tanggal 6 Oktober 2006, Pesta St. Bruno, saya menerima fax dari wakil Pater Jenderal yang mengizinkan memulai langkah ini. Setelah segala sesuatu beres diurus dengan pertapaan di Inggris datang surat balasan dari Italia yang menyuruh saya datang, namun saya putuskan untuk tetap ke Inggris karena merasa ke sanalah Penyelenggaraan Ilahi menuntun saya meskipun bukan pilihan pertama saya. (Baca:  Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan di Malam Pertama (5A)

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version