Home LENTERA KEHIDUPAN Cerpen Romo van Lith SJ dan Bakoel Areng

Romo van Lith SJ dan Bakoel Areng

0

SYELLOM, Wilujeng, Berkah Dalem.

Salam jumpa, salam canda, salam cerita. Selama 5 hari, 7-11 Sept. Peng-oedoed ’76 ikut pertemuan Pastor Diosesan Regio Jawa. Tawaran acara itu menarik, karena salah satu mata acara yang diagendakan, berupa perjalanan napak-tilas Rm Van Lith dan Rm Prenthaler SJ. Perjalanan karya itu, dulu terjadi di kawasan Borobudur–Promasan.

Hari kedua pertemuan, ‘napak tilas dimulai’. Pagi-pagi benar berangkat dari penginapan Hotel Puri Asri Magelang. Diantar 4 bus ukuran sedang, rombongan menuju start jalan yakni Majak Singi.

Sebuah tempat, tak jauh dari Candi Borobudur. Di halaman sebuah rumah berwajah tustel foto, milik seorang seniman, rombongan diberi briefing seperlunya. Dibekali dengan senam peregangan otot, olahraga ringan, dengan maksud agar tak kram di perjalanan.

Sekitar pukul 07-an, start jalan dimulai. Para pastor berangkat jalan kaki. Didampingi dikawal oleh jajaran Polsek Borobudur, lengkap dengan komandannya. Ada yang jalan kaki, sebagian naik Motor Trail Kepolisian. Komandannya sendiri memilih jalan kaki.

Perjalanan napak-tilas berjalan kaki, menyusuri lereng Bukit Menoreh. Jalan menanjak terus. Sebagian amat curam. Tanah berkontur bebatuan, dan bertanah-liat. Para peserta berjalan dengan memakai sepatu sport. Sebuah keuntungan Pengoedoed ’76 tak pakai alas-kaki. Demikian, karena salah satu bagian kaki belum sembuh benar iritasinya.

Iritasi, luka terjadi karena tadinya beli sandal jepit agak mahal, tapi malah cacat produksi. Srampatnya terlalu banyak mlintir, sehingga tak terasa mengikis kulit, melukai kaki. Kondisi ini, menjadikan warna napak-tilas jadi lebih orisinal.

Dua jam jalan kaki, sampailah di titik perhentian pertama, yakni Kapel Stasi Kerug, bagian dari Paroki Promasan. Sudah disediakan di tempat itu, minuman dan makan. Bahannya, asli lokal. Ada ketela, mbili, tales, benguk, koro, gebleg, dawet, dsb.

Bakoel areng

Acara berikutnya, ramah tamah di dalam Kapel. Oleh tiga orang perwakilan umat, para peserta diceritai kisah-kisah bagaimana dahulu Rm Van Lith SJ berkarya di kawasan Mendut, Kerug, Promasan.

Salah seorang wakil umat, berkisah: Rm Van Lith, dulu bermukim di pastoran Mendut. Jika menuju Promasan, jalurnya melalui Majak-Singi, lalu lewat Kerug. Jalur itu ditempuh dengan berjalan kaki. Malah juga tanpa sandal, tanpa sepatu. Alias ‘nyeker’. Sepanjang perjalanan, jika ditemui orang, disapanya, diajaknya omong, bincang-bincang.

Pernah di sebuah tempat, dijumpainya seorang bapak sedang membakar kayu. Ternyata dia sedang membuat areng. Jika sudah jadi, dan terkumpul cukup, dipikulnya untuk dijual di pasar. Di akhir pembicaraan, dimintanya areng itu diangkut ke sebuah rumah gedhong, tak jauh dari Candi Mendut. Jadi kenyataan, suatu saat areng-areng itu diantar sampai di gedhong itu. Lalu oleh Rm Van Lith semua areng itu diborongnya.

Kemudian hari, diketahui rumah model gedhong itu, adalah pastoran Mendut.

Rumah Pastoran Mendut, bermodelkan gedhong, kini sudah tiada. Kena bom waktu perang Clash II. Happy ending, bapak, si penjual areng itu, akhirnya menerima pembabtisan dari Rm Van Lith. Bapak tukang pembuat areng itu, adalah embah-paman dari umat yang jadi pembawa acara, saat acara temu Umat Kerug, dengan para imam peserta napak-tilas siang itu.

Gereja Kristus, tumbuh dan berkembang, dari benih-benih iman yang ditaburkan oleh para perintis. Tanahnya, rupa-rupa profesi orang. Ada cendekiawan, ada birokrat. Ada pula politisi, praktisi. Namun ada pula orang-orang sederhana, seperti bapak, si pembuat dan penjual rreng.

Selamat, menabur benih-benih iman.

Wasalam
-peng-oedoed ’76-

Kredit foto: Ilustrasi (Romo Antonius Dadang Hermawan/Keuskupan Agung Semarang)

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version