BAGI saya pribadi –mantan mahasiswa beliau di Fakultas Teologi Wedabakti Universitas Sanata Dharma (FTW USD) dan penghuni Biara MSF Wisma Nazareth—almarhum Romo Wim van der Weiden MSF adalah sosok imam yang tidak pernah berlaku ‘pilih kasih’.
Pertemuan saya dengan beliau terjadi pada tahun 1987, setelah saya mengucapkan kaul pertama.
Baca juga: Romo Wim van der Weiden MSF Jadikan Kitab Suci Lebih Hidup, Konteks Kitab Mazmur (14)
Sebagai frater MSF dan kemudian melanjutkan program studi filsafat dan teologi di FTW USD dan duduk di tingkat I, saya merasa sangat ‘berjarak’ dan jarak itu sangat jauh dengan almarhum Romo Wim. Belum lagi menyebut bahwa beliau itu imam misionaris MSF dari Negeri Belanda.
Namun dalam perjalanan waktu, ternyata beliau itu bisa menjadi sangat dekat dengan kami, para frater muda MSF.
Berlaku adil
Meskipun begitu, dalam urusan perkuliahan, Romo Wim selalu bersikap adil. Menurut saya dan juga penuturan teman-teman frater lainnya dari berbagai diosesan dan aneka tarekat religius yang belajar di FTW USD, Romo Wim selalu bersikap profesional sebagai pengajar dan selalu bersikap adil.
Beliau tidak pernah ‘pandang bulu’ siapa yang menjadi mahasiswanya dan tengah beliau ajar di ruang kuliah atau siapa yang sedang datang menghadap beliau saat harus melakukan ujian lisan dengan materi bahan kuliah KSPL. Apakah mahasiswa itu dari ‘kalangan sendiri’ para frater MSF, diosesan KAS-KAJ-Purwokerto, SCJ, diosesan Seminari Tinggi Diosesan “Anging Mamiri” dari Keuskupan Agung Makassar atau kelompok lainnya seperti frater SJ dari Kolsani, Fransiskan, Xaverian, OMI dan lainnya.
Yang pasti, kalau gagal dan tidak lulus ujian, maka para mahasiswa frater dan suster itu akan disuruh datang mengulang.
Pengalaman ujian lisan dengan beliau membuat saya semakin yakin bahwa beluiau pribadi yg adil dan objektif.
Saat ujian lisan, saya menjawab pertanyaan beliau tetapi ada yang lupa, sehingga terjadi lompat paragraf berikutnya.
Kepada saya, beliau langsung memotong pembicaraan dengan berkata dalam bahasa Belanda: “Ne…ne…ne…” yang artinya tidak…tidak…tidak…
Beliau mengatakan kepada saya, aturannya tidak boleh melompok. Dan saya harus menuruti kemauan dan perintah beliau.
Akhirnya saya ‘menyerah’ pada keputusannya. Dan meskipun kami ini sama-sama MSF, saya cuma diberi nilai C.
Luar biasa. Sebagai dosen, sikap beliau dalam memberi nilai itu sangat objektif. Di Biara MSF Wisma Nazareth, kami bergaul sangat dekat dan beliau sangat akrab dengan para frater.
Sekitar 20 hari sebelum meninggal, beliau datang menyapa saya di Propinsialat MSF di Semarang dan masih bercanda seperti biasa.
Selamat jalan Romo Wim, Bapa di surga menyambutmu. Terima kasih karena Romo telah memberi warisan berharga berupa keteladanan hidup dan bertindak objektif sesuai profesinya.