Home BERITA Romo Wim van der Weiden MSF Jadikan Kitab Suci Lebih Hidup, Konteks...

Romo Wim van der Weiden MSF Jadikan Kitab Suci Lebih Hidup, Konteks Kitab Mazmur (14)

0
Romo Wim van der Weiden MSF (Dok Biara MSF Wisma Nazareth Yogyakarta)

BAYANGKAN saja, ketika sedang ada pertemuan antara –katakanlah— seorang  presiden kita dengan perwakilan negara-negara lain, tiba-tiba ada seorang uskup nekad datang dan masuk ke dalam  ruangan pertemua itu  dan ia hanya mengenakan pakaian dalam …”.

Kisab Nabi Yeremia

Itulah sepenggal kalimat Romo Wim yang selalu saya ingat. Penggalan kalimat itu dikatakan oleh Romo Wim ketika beliau ingin menerangkan tentang kisah Nabi Yeremia. Yaitu, tentang Yeremia  –saat  diminta Tuhan— agar segera memasang baginya kuk di bahunya dan Tuhan lalu menyuruh Yeremia menyampaikan pesan kepada utusan raja-raja Edom, Bani Amon, Tirus dan Sidon yang sedang menghadap raja Zedekia di Yerusalem (Yer 27).

Baca juga:  Romo Wim van der Weiden MSF, Dua Buku Berpengaruh bagi Pemeliharaan Imamat (13)

Dengan contoh seperti itu, kami –para frater mahasiswa matakuliah KSPL yang diampu Romo Wim— bisa dengan mudah menangkap atmosfer keberanian Nabi Yeremia. Dengan ilustrasi semacam itu, kami lalu sadar  betapa tindak kenabian Yeremia itu sungguh luar biasa.

Itulah Yeremia, seorang nabi yang seperasaan dengan Tuhan dan yang menggunakan tindakan simbolis agar pesannya tersampaikan.

Bagi kami yang waktu itu belajar Kitab Suci Perjanjian Lama, contoh seperti itu sungguh membuat Kitab Nabi-nabi itu sangat ‘bicara’.

Kitab Mazmur

Lain kali, Romo Wim sangat bersemangat ingin menjelaskan  hal-ikhwal Kitab Mazmur, khususnya Mazmur pujian.

Kali ini, beliau mengambil contoh ilustrasi tentang seorang suster biarawati yang tengah datang bertemu menghadap Suster Moeder pimpinannya.

Waktu itu, Romo Wim kurang lebih mengatakan demikian:

“Seorang suster muda datang ke moeder pemimpinnya dan sang suster itu mulai dengan mengatakan: ‘Suster, apa yang Suster katakan dalam konferensi tadi itu sungguh menarik, sungguh kena pada pergulatan hidup saya. Dan saya tersentuh’,” kata Romo Wim mulai memedar kisah ilustrasi.

“Terus terjadi pembicaraan tentang apa yang menjadi bahan konferensi itu. Dan setiap kali Suster pimpinan itu mengatakan sesuatu, Suster muda itu selalu menyetujui dan memujinya,” sambung Romo Wim.

“Sampailah di  akhir pembicaraan dan ketika sudah mau melangkah ke pintu keluar ruangan, tiba-tiba Suster muda itu berbalik memalingkan kembali badannya ke arah moeder pimpinannya dan mulai  mengatakan ini kepada Suster pimpinannya: “ … Maaf Suster, ada yang lupa. Besok pagi, saya mendapat undangan dari keluarga, apakah saya boleh pulang,” sambung Romo Wim sembari mengakhiri ‘cerita’ ilustratif tersebut.

Barulah kemudian Romo Wim menjelaskan konteksnya.

Konteks pujian dalam Kitab Mazmur

Menurut Romo Wim dalam penjelasannya di ruang kuliah waktu itu, pujian dalam Kitab Mazmur tidak seperti itu: tindakan memuji-muji untuk kemudian memohon sesuatu seperti dalam kisah ilustratif tentang seorang suster di atas.

Pujian dalam Kitab Mazmur adalah pujian yang tulus, karena merasakan belas kasih Allah.

Inilah salah satu kehebatan Romo Wim, manakala memberikan ilustrasi yang ‘hidup’ dan tepat guna menjelaskan konteks ‘alam pikir’ sang penulis kitab.

Di tangan Romo Wim, maka Kitab Mazmur itu dapat diterangkan dengan menggunakan contoh-contoh yang akhirnya membuat kami tergelak dalam tawa tak kunjung putus, karena di bangku kuliah kami kadang-kadang ada juga mahasiswa seorang suster biarawati.

Yang menarik, ulasan ilustratif itu telah menjadikan kami terburai dalam tawa, namun beliau sendiri biasanya malah tidak ikut tertawa.

Buku “Setia Kendati Lemah”

Romo Wim mampu menjadikan pelajaran Kitab Suci itu sangat hidup dan menarik. Meski sekarang ini saya tidak menjadi pengajar Kitab Suci, namu saya masih menggali inspirasi dari tulisan-tulisan beliau.

Suatu ketika, saya diminta memberi retret untuk para rahib di Rawaseneng.

Kepada para rahib Trappist ini,  saya menggunakan buku Romo Wim yang berjudul Setia Kendati Lemah.

Dan ketika saya ceritakan kisah ilustrasi sama itu kepada Romo Wim van der Weiden MSF, maka beliau hanya berkomentar: “Wah …, saya jadi tidak bisa menggunakannya lagi di sana (maksudnya: ketika diminta memberi sesi retret di Rawaseneng”.

Kerelaan bahwa gagasannya itu dipakai orang lain, hal ini sungguh mengagumkan. Sungguh seorang guru yang sederhana, yang ingin murid-muridnya mencecap dari Sang Guru sendiri.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version