INILAH saat tepat untuk merawat kenangan akan sejarah proses berdirinya Sekolah Suster yang diampu oleh para Suster SFIC di Ibukota Pontianak, Kalbar. Tulisan kilas balik ini menjadi penting guna mengenang awal berdirinya Sekolah Suster yang hingga kini tetap eksis di Kota Katulistiwa, Kalbar ini.
Belum lagi kalau kita harus mengingat bahwa Sekolah Suster SFIC ini kini tengah aktif berbenah diri guna merespon kebutuhan zaman lengkap dengan semua tantangan riil dalam bidang pendidikan formal (sekolah). Salah satunya adalah keharusan menyediakan berbagai fasilitas studi agar proses pendidikan formal ini bisa tetap berlangsung dengan baik, lancar, nyaman.
Semua ini perlu dilakukan agar bisa memenuhi keinginan semua pemangku kepentingan (murid, orangtua murid, komite sekolah, yayasan, para guru, karyawan sekolah) dan instansi terkait.
Sekolah Suster
Di Pontianak, nama tenarnya adalah “Sekolah Suster” atau “Persekolahan Suster”.
Nama ini memang tidak ‘biasa’ untuk para pembaca di luar wilayah Pontianak dan Kalbar. Biasanya, sekolah-sekolah katolik asuhan para suster biarawati selalu mengadopsi nama orang kudus (santo-santa) yang menjadi pelindungnya sebagai ‘nama resmi sekolah’.
Tapi, ya begitulah yang namanya sejarah telah bergulir sebagaimana yang sudah terjadi pada beberapa dekade lalu hingga sekarang. Lembaga pendidikan formal dari tingkatan PAUD, TK, SD-SMP-SMA asuhan para Suster SFIC ini tetap mengadopsi nama populernya yakni Sekolah Suster atau Persekolahan Suster.
Tiga suster SFIC perintis sejarah
Pada tanggal 14 November 1910, sebuah rumah kecil berbahan dasar kayu dibangun di sebuah wilayah yang waktu itu masih disebut Stasi Pontianak. Rumah kecil kayu ini diperuntukkan untuk dua orang guru sekaligus menjadi residensi bagi tiga orang suster biarawati misionaris SFIC.
Ketiga suster biarawati itu boleh dibilang sebagai kelompok perintis berdirinya Stasi Pontianak yang tentu saja proses ‘berdirinya’ wilayah administrasi gerejani ini juga tidak luput dari peran besar dari para imam misionaris Fransiskan Kapusin (OFMCap).
Para suster misionaris perintis berdirinya “Sekolah Suster” Pontianak bersama anak-anak didik mereka di Pontianak tahun 1913. Para Suster misionaris SFIC mengajari anak-anak asrama ini mandi di sungai secara benar dan bersih.Ketiga orang suster biarawati misionaris SFIC itu adalah:
- Sr. Alexia Hellings SFIC.
- Sr. Venantia Verhoeven SFIC.
- Sr. Ildephonse Verhoeven SFIC.
Ketiga suster biarawati SFIC itu masuk ke wilayah Borneo –nama keren zaman dulu untuk menamai Pulau Kalimantan—melalui Singkawang. Mereka datang sebagai misionaris dari Negeri Belanda. Dari Singkawang itulah, ketiga orang suster biarawati SFIC misionaris dari Nederland ini menuju ke Pontianak.
Dari Pelabuhan Singkawang, dengan sampan kecil mereka dibawa nelayan terlebih dahulu menuju perairan yang lebih dalam. Sesudahnya, mereka dibawa naik masuk geladak sebuah kapal yang lebih besar dan kemudian bisa berlayar ke Pontianak.
Dua murid pertama dari Singkawang
Ketiga suster biarawati SFIC misionaris dari Negeri Belanda itu mengajak dua orang calon murid lokal asal Singkawang untuk bisa mereka didik di ‘rumah biara’ berbahan dasar kayu di Pontianak.
Dua hari setelah pelayaran pertama, datang lagi dua orang calon murid perempuan lain juga dari Singkawang. Dalam beberapa bulan kemudian dan sebelum datangnya Tahun Baru 1911, maka lengkap sudah bisa terkumpul 18 anak perempuan Singkawang yang akan dididik menjadi murid dengan sistem pendidikan berasrama.
Datang dua orang suster SFIC
Di bulan Februari 1912, tenaga suster biarawati SFIC misionaris di Pontianak bertambah menjadi lima personil.
Yang mengagumkan dan layak terus kita kenang di sini adalah hal berikut ini. Dalam situasi serba berkekurangan dan terbatas itu, semangat kelima suster biarawati SFIC misionaris perintis program pendidikan berasrama di Pontianak ini tidak pernah kendor atau surut. Sudah barang tentu, apa yang namanya fasilitas pendidikan pada waktu itu serba sangat terbatas dan mungkin juga boleh dikatakan ‘tidak ada’ menurut kriteria zaman sekarang.
Sebuah rumusan kalimat rasanya sangat relevan guna mengenang kembali etos kerja kelima suster biarawati SFIC tersebut. Terutama kalau kita merasa perlu harus melihat ‘spiritualitas misioner’ mereka itu seperti apa sehingga mereka bisa dibilang para misionaris yang ‘tahan banting’ sekaligus etos kerjanya juga tidak pernah ‘berbelok arah’ dalam menjalankan misinya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa di Pontianak ditahun-tahun awal abad ke-20 itu.
Bunyi rumusan kalimat mengenang memori itu sebagai berikut:
“Karena tidak cukup tempat tidur, maka anak-anak itu lalu tidur di bawah dipan tempat tidur pada Suster. Dengan begitu, anak-anak itu bisa memanfaatkan kelambu tempat tidur Suster agar mereka pun juga bisa bebas dari serangan ganas gigitan nyamuk.” (Tuhan Meneguhkan Karya–Nya:48)