Ada seorang gadis mengalami kegoncangan jiwa. Pasalnya, saat ia menikah ia baru tahu bahwa ia bukanlah anak kandung dari kakek-neneknya yang selama ini ia kagumi. Ternyata ia adalah anak angkat mereka. Ia baru mengetahui statusnya saat berusia 21 tahun. Saat itu, ia hendak melangsungkan pernikahannya.
“Saya adalah anak sulung dari lima bersaudara kandung. Saat saya dilahirkan, orangtua saya belum menikah. Untuk menutupi rasa malu, saya diadopsi oleh kakek-nenek dari pihak ibu. Akibatnya, sejak saya lahir saya masuk daftar keluarga kakek. Saya menjadi anak bungsu dari tujuh bersaudara,” katanya.
Ia menikah pada usia 25 tahun. Pernikahan yang seharusnya penuh sukacita, namun justru sebaliknya. Saat perkawinan, dibacakan bahwa ia adalah anak yatim piatu. Sementara di sebelahnya duduk kedua orangtua kandungnya.
“Air mata saya mengalir. Ingin rasanya saya berteriak. Saya ingin mengatakan kepada semua orang, “Saya masih punya orangtua yang hidup! Dan mereka ada di sini!” kata perempuan itu.
Sangat menyakitkan ketika ia tahu bahwa ia tidak diakui sebagai anak kandung secara hukum. Ia hanya diakui secara biologis saja. Menikah dalam kondisi emosi yang masih labil sangat mempengaruhi hidup suami-istri. Ia menjadi orang yang sangat emosional dan sensitif.
“Saya mudah terluka. Saya bersyukur mempunyai suami yang sangat sabar dan mengerti serta memahami sikap saya. Suami saya memberi saya waktu untuk mengolah pengalaman luka batin saya. Saya diberi waktu untuk berubah menjadi baik, menjadi istri yang baik dan sabar,” kata perempuan.
Menonjolkan pengalaman pahit
Sahabat, ketika ada pengalaman pahit dalam hidup, kita sering menonjolkan pengalaman pahit itu. Kita lupa bahwa ada hal-hal yang manis dalam hidup ini. Sering hal-hal manis itu lebih banyak kita alami dalam hidup ini. Kita lebih mendahulukan hal-hal yang pahit. Seolah-olah hal-hal pahit itu yang utama dalam hidup kita.
Kisah tadi mengajak kita untuk melihat hidup ini dari segi positif. Meski ada duka lara yang kita miliki, tetapi yakinlah hal itu hanya sebentar saja. Dukacita membantu kita untuk memetik nilai-nilai kebaikan dalam hidup kita. Perempuan dalam kisah di atas tidak terlalu lama terpuruk dalam luka batinnya. Ia cepat bangkit dari kenyataan diri yang ditolak itu. Ia yakin, dengan cara itu ia mampu menjadi seorang yang lebih baik.
Apa yang mesti kita buat saat kita menghadapi masa-masa pahit yang menyebabkan luka batin menganga? Yang perlu kita lakukan adalah kita butuh kesabaran dalam mengendalikan emosi kita. Kita tidak perlu marah atau emosi saat menghadapi situasi seperti ini. Dengan demikian, kita lebih memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang baik dalam hidup ini. Kita mesti ingat bahwa ada begitu banyak hal baik yang ada dalam diri kita. Kita tumbuhkan hal-hal baik itu. Kita besarkan hal-hal yang baik itu. Tuhan memberkati.
Romo yang baik hati, sy senang membaca tulisan anda. jika saya membaca setiap tulisan mengenai cara dalam menghadapi masalah pasti mengatakan “sbarlah pasti berlalau”, saya secara pribadi ingin sekali mengalami masalah saya itu berlalu, saya mengatasix tp malah bertambah, apakah ada mslh yg mmg d takdirkan bg ssorg?