Beliau sendiri mengatakan tidak memberikan nasihat “rohani” tetapi tiga butir permenungan sebagai berikut, antara lain sebagai berikut :
1. Pasrah tanpa TAPI. Pasrah tanpa tapi berarti pasrah bulat-bulat, tanpa bertanya. Orang sering “pasrah” tetapi masih mempertanyakan kejadian yang dialaminya: mengapa orang yang begitu aku cintai dipanggil Tuhan begitu cepat? Aku bukanlah “orang jahat”, mengapa aku “dihukum” dengan kehilangan orang yang begitu aku cintai? Masih ada banyak “mengapa-mengapa” yang lain. Pasrah tanpa TAPI berarti tidak melontarkan tanya “mengapa”. Cukup diterima dan ditelan bulat-bulat.
2. Menantang diri sendiri. Apakah aku akan begini terus? Kematian seseorang yang begitu dekat dan kita cintai memang menimbulkan kesedihan yang teramat dalam. Banyak orang yang berusaha menghibur saya. Namun demikian, yang menjadi pemain utama untuk “keluar” dari kesedihan ini adalah diri saya sendiri. Saya harus berani menantang diri saya sendiri. Apakah saya akan sedih terus menerus? Bukankah aku tetap harus melanjutkan hidup ini?
3. Keluar dari diri sendiri dan memberikan diri pada orang lain. Menurut beliau, dalam arti tertentu kesedihan manusia karena ditinggal oleh orang yang dicintainya adalah salah satu bagian dari “egoisme” – nya. Agar egoisme ini semakin terkikis, orang harus “keluar” dari dirinya sendiri: banyak memberikan diri pada orang lain, hormat pada orang lain, membantu orang lain, dsb. Proses yang tidak mudah karena ini sebenarnya merupakan perjuangan seumur hidup.
Ketiga nasihat itu terdengar “klise” tetapi begitu mengena dan “berbicara” saat saya mengalami kesedihan yang mendalam. Ketiga nasihat itupun tetap relevan saat saya sudah bisa “keluar” dari kesedihan itu. Ketiga nasihat itu pada dasarnya merupakan bahan refleksi sebagai bagian dari perjuangan seumur hidup.