Home BERITA SAGKI 2015: Gereja Katolik takkan Pernah Menceraikan Perkawinan (4)

SAGKI 2015: Gereja Katolik takkan Pernah Menceraikan Perkawinan (4)

0

TELANJUR salah kaprah memahami konteks anulasi perkawinan katolik dan itu pun malah sering dipahami salah. Inilah poin penting yang dikatakan oleh Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo saat konperensi pers menjelaskan tema pokok bahasan keluarga dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2015 tanggal 2-6 November 2015 ini. (Baca: SAGKI 2015: Mendengar Kisah Best Practice Keluarga Katolik (3)

Susah menikah karena ditolak

Ada wartawan dari sebuah koran online bertanya sembari mengeluhkan kasus ‘aneh’ di sebuah paroki di Jakarta. Ujar sang wartawan ini, ada pasangan calon pengantin katolik yang mendapat kesulitan untuk menikah karena menurut pastor parokinya dianggap kurang ‘aktif’ di gereja parokinya. Tapi di kemudian hari, ada satu pastor paroki yang akhirnya mengizinkan calon pasangan pengantin ini menikah secara katolik.

Pertanyaan kritis yang diajukan sang wartawan itu kepada Bapak Uskup Agung Jakarta sekaligus Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo: “Mengapa Gereja Katolik –dalam hal ini pastor paroki—punya kebijakan berbeda-beda dan terkesan pilih kasih?”

Pasti ada masalah
Menjawab pertanyaan kritis tersebut, dengan jelas dan tenang Uskup Agung Jakarta ini menjelaskan prosedur legal yang hingga kini masih tetap dilakoni Gereja Katolik: memfasilitasi proses pernikahan calon pengantin yang akan menikah secara katolik. Proses awal itu adalah kursus perkawinan.

Sayangnya, dalam beberapa kasus kejadian di KAJ, ada pasangan yang kadang berlaku nakal. “Mereka tidak datang, melainkan ‘menyewa’ joki untuk menggantikan kedatangan mereka. Ini jelas tidak benar dan tidak bisa dibiarkan,” kata Mgr. Suharyo menanggapi pertanyaan saat konperensi pers tentang seluk-beluk Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2105.

Halangan nikah

Persoalannya bukan soal mendapatkan sertifikat apa tidak dari tiga kali ‘kursus’ perkawinan tersebut. Melainkan ada hal yang lebih mendasar lagi yakni tahapan berikutnya yakni proses penyelidikan kanonik.

Kalau di beberapa paroki terjadi semacam ‘penolakan’ untuk melakukan pernikahan katolik, maka di situ sudah sangat jelas pasti ada ‘masalah’ serius yang tidak bisa begitu saja diabaikan oleh pastor yang sedianya akan menikahkan calon pasangan pengantin tersebut.

Masalah ‘halangan’ nikah itu tentu saja macam-macam: tidak ada unsur kebebasan dalam memilih pasangan, tertekan atau terintimidasi harus menikahi pasangan karena beberapa alasan, pasangannya ternyata sudah (pernah) menikah dan masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, dan masih banyak lagi.

Kalau yang terjadi seperti itu, maka ‘masalah’ berupa halangan nikah itu harus dibereskan terlebiih dahulu. Di-clear-kan agar proses prosedural menikah secara katolik menjadi sah.

Perkawinan katolik takkan pernah terceraikan
Menjawab pertanyaan wartawan lain tentang kesan umum bahwa Paus Fransiskus kini memberi lampu hijau terhadap proses perceraian perkawinan katolik, Bapak Uskup Agung Jakarta ini dengan tegas mengatakan hal ini secara jelas. “Dalam Gereja Katolik, takkan pernah ada cerita tentang perkawinan yang diceraikan,” tandasnya.

Perceraian perkawinan itu sangat berbeda kasus dan prosedur khusus yang biasa disebut ‘anulisasi’ perkawinan katolik. “Nah, di sinilah sering terjadi salah kaprah dalam pengertian maupun penafsirannya,” terang Mgr. Suharyo.

Jelas sudah bahwa perkawinan dalam Gereja Katolik itu terjadi hanya sekali dan berlaku untuk seumur hidup. Pasangan sudah nikah bisa menikah lagi, manakala pasangan sudah meninggal dunia atau ada kasus lain yang melalui proses anulisasi pernikahan membuktikan pernikahannya dulu ternyata tidak sah.

Anulisasi perkawinan

Mengenai apa yang disebut sebagai ‘anulisasi’ perkawinan katolik, kata Mgr. Ignatius Suharyo, maka hal itu harus dijelaskan kasus per kasus. Gereja Katolik bisa ‘membatalkan’ sebuah peristiwa pernikahan katolik yang terjadi sebelumnya atau tahun-tahun dulu, manakala di kemudian hari ‘ditemukan’ faktor-faktor yang membuat pernikahan yang dulu itu tidak sah.

Misalnya, menikah dengan paksaan atau pasangannya ternyata masih terikat dengan perkawinannya sebelumnya dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Jadi, yang diproses oleh Gereja Katolik itu adalah membatalkan perkawinan (dulu) karena ada hal-hal yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah. “Diskusi mengenai hal ini tidak bisa selesai dan akan panjang sekali,” terangnya.

Kredit foto: Matius Bramantyo/Dokpen KWI

Tautan: Situs resmi Dokpen KWI

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version