Home BERITA Sama Seperti Yesus, Gereja Katolik Kini Butuh Tukang Cerita Andal

Sama Seperti Yesus, Gereja Katolik Kini Butuh Tukang Cerita Andal

0
Ilustrasi: Seorang frmengisahkan cerita-cerita Kitab Suci kepada anak-anak sekolah di Paroki Runut. (Ist)

Pengantar

Tulisan ini merupakan kontribusi penulis untuk berpartisipasi mengikuti iimbauan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 Tahun 2020.

Perumpamaan

Story telling atau bercerita merupakan salah satu keterampilan komunikasi yang sangat atraktif dan efektif dalam menyampaikan pesan.

Banyak ahli komunikasi menggunakan teknik ini untuk presentasi, menulis buku, mengajar, melatih, pidato, bahkan salesman sudah mulai juga mengadopsi teknik ini. Ha ini dipraktikkan dalam melakukan pendekatan-pendekatan kepada pelanggan potensial dan untuk membina relasi dengan para pelanggan.

Berbagai perusahaan multinasional di negara maju malah sudah menciptakan posisi baru yakni Corporate Story Teller. Tugasnya mencari sebanyak mungkin kisah atau cerita seputar produk dan perusahaannya, serta memiliki keterampilan mengkomunikasikan pesan dengan cara bertutur atau bercerita.

Mengapa cerita?

Paul Smith dalam bukunya Lead With A Story – A Guide to Crafting Business Narratives That Captivate, Convince, and Inspire – menyatakan sebagai berikut:

  • Karena cerita itu sederhana, semua orang bisa melakukannya, tanpa harus bersekolah secara khusus atau mencari gelar akademik.
  • Karena cerita itu tidak lekang oleh waktu, dibanding berbagai ilmu manajemen yang akan selalu perlu pembaruan.
  • Karena cerita itu tidak melihat batas-batas demografi, semua orang apa pun suku nya, berapapun umurnya, pria atau wanita, semua suka mendengarkan cerita.
  • Karena cerita itu menular, dengan cepat menyebar tanpa ada upaya khusus dari si pemberi cerita.
  • Karena cerita mudah diingat.

Berbagai pandangan

Menurut psikolog Jerome Bruner, suatu fakta akan 20 kali lebih cepat diingat, jika fakta itu ada di dalam sebuah cerita.

Psikolog organisasi Peg Neuhauser menemukan hasil yang sama dalam upayanya meneliti organisasi. Ia menemukan bahwa pelajaran yang diambil dari sebuah cerita yang disampaikan secara tepat akan diingat lebih akurat, dan bertahan lebih lama dibanding dari fakta atau data.

  • Karena cerita itu inspiratif. Slide powerpoint, tidak.
  • Karena cerita itu menarik bagi semua tipe pembelajar. Dalam kelompok apa pun, kira-kira 40% didominasi oleh mereka tipe pembelajar melalui visual, diagram atau ilustrasi. 40% yang lain adalah tipe pembelajar auditory atau lewat pendengaran, belajar efektif melalui pengajaran dan diskusi. Sisa 20% nya adalah tipe pembelajar kinestetik, yang belajar dengan cara melakukan, mengalami atau merasa.
  • Bercerita itu menarik bagi ketiga tipe itu. Pembelajar visual menyukai imajinasi yang timbul dari penuturan sebuah cerita. Pembelajar auditory fokus pada kata-kata dan suara penutur. Pembelajar kinestetik mengingat koneksi emosional dan perasaan dari sebuah cerita.
  • Karena cerita sesuai untuk pembelajaran informal di tempat kerja. Menurut ahli komunikasi Evelyn Clark, hingga 70% dari keterampilan-keterampilan, informasi dan kompetensi di tempat kerja didapat melalui pembelajaran informal seperti pembentukan tim, mentoring, dialog antar karyawan.
  • Karena cerita mendorong orang untuk mendengarkan. Pendengar yang sedang berada dalam posisi untuk mengkritik atau memberikan evaluasi kemungkinan besar akan menolak pesan yang disampaikan.

Menurut seorang training coach dan penulis Margaret Parkin, cerita menciptakan kembali rasa penasaran dalam diri yang dulu pernah hadir saat masih kanak-kanak. Ketika kita berada dalam posisi semacam itu, kita cenderung lebih mau menerima dan tertarik pada pesan yang disampaikan.

Karena bercerita menunjukkan respek bagi pendengar. Cerita membantu kita menyampaikan pesan kita tanpa terkesan arogan atau menggurui.

Menurut penulis storytelling Annette Simmons, cerita memberikan kebebasan pada orang untuk menarik kesimpulan sendiri.

Ilustrasi: Pertemuan dengan OMK. (Ist)

Keterampilan bercerita ternyata memiliki banyak manfaat, dan yang penting, karena membantu pesan tersampaikan dengan relatif lebih mulus dan menghindari penolakan. Tentu saja ini adalah tujuan utama setiap proses komunikasi.

Perlu latihan

Namun seperti halnya keterampilan lain, keterampilan ini juga perlu dilatih dan dibiasakan agar bisa mengalir secara alami. Intinya, kita perlu senantiasa merekam setiap pengalaman dalam hidup untuk kemudian dikaitkan dengan berbagai pesan yang ingin kita sampaikan.

Kita juga bisa mengoleksi cerita-cerita terkenal dari orang lain. Selain itu tentu saja harus dibarengi dengan kemampuan bercerita atau bertutur supaya kisah yang disampaikan sarat dengan emosi sehingga tetap menarik.

Artinya penggunaan yang tepat atas intonasi, mimik wajah dan gerakan anggota tubuh menjadi penting. Sebuah cerita yang inspiratif, mengerikan, menyedihkan atau menggembirakan bakal tidak punya makna tanpa keterampilan menggunakan bahasa tubuh.

Dalam upaya kita menyampaikan pesan apakah dalam presentasi, pidato, tulisan pun bisa menggunakan alur bercerita, sehingga tetap menarik dan otentik.

Caranya adalah dengan mengadopsi alur sebuah cerita, yang pada umumnya menyampaikan konteks di awal – pengenalan “tokoh-tokoh”, kemudian dilanjutkan dengan konflik, isu, masalah atau dalam film biasanya disebut “drama”, dan ditutup dengan hal yang membahagiakan atau kesimpulan atau ajakan untuk berbuat.

Pendeknya, alurnya sama dengan alur sebuah kisah pada umumnya. Tehnik ini lalu disertai dengan pemilihan kata yang bertutur agar tidak terkesan kaku. Usahakan menggunakan banyak kata sifat, kata “saya”/”kami”, kata yang menunjukkan pengalaman, perasaan dan berkaitan dengan manusia.

Yesus, tukang cerita andal

Dalam Kitab Suci kita mengenal istilah perumpamaan atau dalam bahasa Inggris suka disebut sebagai parable. Konon, istilah ini diilhami oleh cara komunikasi Yesus menggunakan cerita atau perumpamaan.

Karena Yesus adalah manusia utusan Allah Sang pemilik Kerajaan Surga, maka Dia harus menggunakan berbagai cara untuk dapat menyampaikan pesan-pesan Ilahi itu.

Nah, manusia dan Allah sudah jelas jauh sekali perbedaan kompetensinya, oleh karena itu Yesus menggunakan medium yang relatif mudah dicerna oleh manusia, yakni medium bercerita.

Dia tidak mungkin bisa menggunakan bahasa atau medium komunikasi ala surgawi, pasti tidak bakal sampai pesannya kepada manusia. Bahkan dengan begitu banyak upaya bercerita saja, manusia masih tidak juga paham.

Perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan Yesus diambilnya dari kehidupan sehari-hari orang Israel pada masa itu. San cara itu jitu sekali karena para penerima pesan melalui perumpamaan tidak harus berupaya terlalu besar untuk memahami. Itu karena ilustrasi yang digunakan Yesus adalah kenyataan yang mereka hadapi, lakukan, amati dan alami secara riil.

Perhatikan bagaimana Yesus menggunakan kisah Penabur atau petani yang menanam benih (Matius 13: 1-9) lalu benih-benih itu ‘mengalami’ nasibnya sendiri-sendiri dan itu relevan dengan taburan Anak Allah bagi berbagai-bagai macam manusia dan berbagai macam responnya.

Gereja butuh pewarta komunikatif kekinian

Di tengah serbuan teknologi komunikasi sekaligus tumbuhnya “kepercayaan baru” khususnya di tengah kaum muda yang berorientasi praktis dan tidak lagi banyak tertarik pada berbagai kegiatan keagamaan, maka diperlukan banyak storyteller.

Tentu saja storyteller  yang memiliki pemahaman cukup tentang ajaran Gereja Katolik dan pembelajar Kitab Suci, sebagai pewarta komunikatif, untuk tetap menjaga ajaran Gereja tersiarkan terus di segala zaman.

Pewarta komunikatif adalah mereka yang senantiasa mau mengasah keterampilannya bercerita, “membumikan” segala istilah dan penjelasan yang “ngawang-ngawang” tanpa kehilangan esensinya, menggunakan berbagai teknik ilustrasi dalam menulis maupun verbal.

Bahasa tubuhnya pun adalah bahasa tubuh yang damai, elegan serta rendah hati. Pun, memiliki kecakapan menjadi pendengar yang baik, tidak terburu interupsi atau sibuk memenuhi benak dengan pikiran sendiri saat orang lain sedang menyampaikan pesan.

Dengan demikian, semua pertanyaan – bahkan yang negatif – dapat dijadikan peluang untuk mewartakan kabar gembira.

Orang yang dibaptis berarti menerima tugas pengutusan. Keterampilan komunikasi – termasuk bercerita – bisa menjadikan misi itu efektif dan berbuah banyak.

PS:  Cuplikan dari buku Pewarta Komunikatif yang sedang diproses oleh Penerbit Kanisius.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version