Home BERITA Mgr. Hilarion Datus Lega: Sarjana, bukan Cuma Gelar

Mgr. Hilarion Datus Lega: Sarjana, bukan Cuma Gelar

0

Sambutan pada Wisuda Sarjana STPK St. Benediktus, Sorong, Papua Barat

PADA  tempat pertama, atas nama Keuskupan Manokwari-Sorong (KMS) dan selaku pribadi, saya haturkan Salam Bahagia dan Proficiat kepada segenap civitas academica Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik (STPK) St. Benediktus Sorong. Khususnya kepada ke-22 wisudawan/wati: proficiat atas pencapaian gelar kesarjanaan yang hari ini disematkan kepada Anda. Juga kepada sanak keluarga yang ikut bersukacita, terimalah ucapan selamat berbahagia.

Serangkaian terima kasih
Terima kasih kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik (Dirjen Bimas Katolik) dari Kementerian Agama Republik Indonesia, Bapak Eusebius Binsasi atas kehadiran. Kehadiran Bapak bersama ‘anak-anak’ kami sudah sangat membanggakan.

Lebih dari itu, terima kasih atas kerjasama kemitraan, khususnya ketika menyelenggarakan program dual mode system (DMS), sebuah program yang telah mengupayakan gelar kesarjanaan Pendidikan Agama bagi para guru dan penggiat katekese dalam bidang studi Pendidikan Agama Katolik dan pastoral katekese.

Saya harus menyatakan terima kasih atas support, termasuk financial support bagi penyelenggaraan Sekolah Tinggi ini. Pada tataran support ini, saya berpendepat Direktorat Jenderal Bmas Katolik senantiasa terbuka untuk memberikan kepercayaan kepada KMS, sesuatu yang harus disyukuri karena sungguh merupakan kehormatan.

Ucapan terima kasih saya tertuju pula kepada keluarga besar STPK, mulai dari Ketua Sekolah Tinggi, para dosen dan staf pengajar sampai pada semua perangkat pendukung: staf pada Tata Usaha dan Perpustakaan, rekan-rekan dari Yayasan penyelenggara dan siapa pun yang mungkin tak sempat saya sebutkan khusus.

KMS menyatakan penghargaan dan kebanggaan atas kinerja Anda semua dalam aneka bentuk. Berkat kerja keras semua pihak menyaksikan wisuda sarjana. Dunia kepengajaran dan kependidikan memang selalu merupakan mata-rantai pekerjaan dan tanggungjawab bersama secara sinergis.

Tidak bisa tidak saya menghaturkan terima kasih berlimpah kepada kalangan Pemerintahan: Provinsi Papua Barat, Kota dan Kabupaten Sorong, termasuk para pejabat dari jajaran Kementerian Agama Wilayah Propinsi Papua Barat dan Kota serta Kabupaten Sorong. Saya merasa, Pemerintah kita tetap terbuka untuk mendukung kehadiran dan penyelenggaraan STPK ini.

Mgr Datus Lega pidato
Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong Mgr. Hilarion Datus Lega saat memberi sambutan pada acara wisuda sarjana Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik (STPK) St. Benediktus di Sorong, Papua Barat. (Dok. Keuskupan Manokwari-Sorong)

Akhirnya, terima kasih kepada para orangtua dan wali yang tetap merupakan mitra pendidik bagi ‘anak-anak’. STPK tidak pernah sendiri, apalagi sendirian, dalam upaya membekali para peserta-didik, karena peran-serta orangtua dan wali merupakan sesuatu yang harus dipandang mutlak. Anda bukan hanya diminta mendukung, umpamanya, secara finansial belaka, melainkan terutama secara moral-etis, karena ‘menciptakan’ para sarjana, apalagi sarjana di bidang khusus Pendidikan Agama, bukanlah perkara sepele.

Makna mendalam
Izinkan saya memaknai mometum berbahagia ini dari perspektif semantik: kata-kata ‘wisuda’ dan ‘sarjana’.

Jauh sebelum kata wisuda lazim digunakan untuk penganugerahan gelar kesarjanaan, kita mengenal kata inauguratio untuk arti yang sama dengan wisuda tersebut. Kata ini, inauguratio, adalah kata bahasa Latin, bahasa-resmi gereja Katolik selama berabad-abad.

Kata ini dipakai, karena memang dalam hal pendidikan dan pencerdasan manusia, gereja Katolik berbangga merupakan perintis dan pelopor pendidikan sekolah-sekolah formal. Beberapa di antara jejak sejarah dari kontribusi dahsyat Gereja Katolik bagi dunia pendidikan formal, khususnya perguruan tinggi, melekat pada istilah-istilah akademis seperti: campus, alma mater, civitas academica, curriculum, judicium, professor, doctor, universitas, termasuk inauguratio. Ini untuk hanya menyebut beberapa kata saja.

Inauguratio sesungguhnya berasal dari kata-dasar: augur-auguris (kata benda) yang aslinya berarti juru tenung atau peramal yang dapat membaca tanda-tanda zaman sekaligus tanda alam untuk kemudian memaknainya.

Sebagai kata-kerja kerkonjugasi, augurato, kata ini berarti ‘dapat melihat arah jalan’; ‘dapat mengetahui gelagat’; dan bahkan juga berarti ‘memberkati’; ‘menahbiskan’; dan ‘menyucikan’. Inilah sebabnya kata spesial tersebut dipakai sederajat artinya dengan ‘penganugerahan gelar kesarjanaan’ alias wisuda.

Diberikan infix alias imbuhan ‘in’ pada kata augurato, sehingga menjadi inaugurato, dan kemudian menjelma menjadi kata-benda ‘baru’: inauguratio, kata ini sungguh mengandung makna mendalam.

Pertama-tama, ini berarti bahwa sarjana bukan hanya sekedar sebuah gelar, melainkan mengandung makna: cerdas, berkat, bahkan suci. Oleh karena itu, menjadi sarjana itu sesungguhnya bukan hanya menyandang gelar kecerdasan (intelektual), melainkan juga menjadi berkat (sosial) dan kudus alias suci (secara etika dan moral).

Itulah sebabnya saya berpendapat bahwasannya sarjana itu bukan cuma gelar akademis, melainkan pula sebuah tanggungjawab untuk mengabdikan diri dalam tugas-pekerjaan-pelayanan yang tulus bin ikhlas. Dengan demikian, menjadi sarjana harus berlangsung dalam sebuah dinamika proses yang tidak gampang-gampang, dan seterusnya kemudian menghayati kesarjanaan tetap berlangsung dalam dinamika proses pengabdian yang seakan-akan tiada ujungnya.

Inilah artinya gelar mulia yang seharusnya diraih dengan akhlak mulia dan kemudian dijunjung dengan akhlak mulia pula. Betapa mendalamnya arti-asli dari gelar kesarjanaan, dan betapa sesungguhnya lebih mendalam lagi pengabdian sebagai seseorang dengan gelar sarjana!

Bukan cuma pencapaian sesaat

Berdasarkan perspektif semantik kata inauguratio alias wisuda tersebut di atas, saya tetap berkeyakinan bahwasannya meraih gelar sarjana tidak pernah berarti sebuah pencapaian sesaat. Memang pada kesempatana ini ‘anak-anak’ kita mencapai gelar sarjana, sebagai buah dari kerja keras pada tahun-tahun kuliah yang barangkali meletihkan. Namun menjadi sarjana saja dalam sebuah seremoni ritual dengan toga dan secarik kertas ijazah sama sekali tidak ada artinya tanpa melanjutkan proses dinamis dalam pekerjaan-pekerjaan yang sedang menunggu di depan.

Kita semua niscaya berbangga dengan pencapaian gelar sarjana bagi 22 (duapuluh dua) wisudawan/wati hari ini. Namun di depan sana masih terbentang seribu-satu tugas dan tanggungjawab yang menuntut komitmen dan kepedulian kita semua bersama-sama untuk terus bekerja keras.

Beberapa contoh konkrit untuk pekerjaan-pekerjaan yang masih harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab: KMS perlu terus mengupayakan infrastruktur yang lebih memadai bagi penyelenggaraan pendidikan STPK. Para mahasiswa/i dan dosen perlu terus saling belajar dengan tingkat kerajinan dan kesetiaan yang terpuji. Orang tua dan wali, kalangan Pemerintahan, dan para stake-holders alias pemangku kepentingan lainnya perlu terus memberikan support kontributif bahwa tugas dan tanggungjawab serta pekerjaan kita belumlah selesai. Peristiwa wisuda sarjana hari ini sekurang-kurangnya menggarisbawahi sebuah pesan fundamental bagi saya, baik sebagai Uskup maupun selaku pribadi, bahwa proses menjadi dan menghayati kesarjanaan membutuhkan kejujuran pengabdian.

Para dosen STPK St. Benediktus di Sorong, Papua Barat. (Dok. Keuskupan Manokwari-Sorong)

Pesan moral sebuah mob
Oleh karena ini kesempatan wisuda sarjana dari sekolah pastoral dan kateketik, maka izinkan saya sedikit berpastoral-katekese dengan mengulangi sebuah mob mengenai Si Cerdik Obed. Ini supaya kita jangan terlalu tegang dalam seremoni ritual wisuda yang anggun dan penuh kewibawaan.

Alkisah adalah Obed, seorang siswa SD dari kawasan pesisir Teluk Bintuni. Selama bertahun-tahun SD, anak ini masih menunjukkan minat untuk sekolah baik-baik. Maka tidak heran ia meraih ranking ketujuh dari 25 (duapuluh lima) murid sekelas. Ketika tamat dan melanjutkan SMP, Obed agaknya mulai terkambuh pada ‘penyakit malas’. Maka segeralah ia uring-uringan masuk sekolah. Hari-hari belajar hanya Selasa dan Jumat. Selebihnya dimanfaatkan Obed untuk ‘bersenang-senang’, antara lain dengan menghabiskan waktu untuk ‘molo’, sebuah kesenangan mengasyikkan untuk anak-anak seusia dia. Tidak heran, ia ketinggalan dalam hampir semua mata pelajaran.

Entah mimpi apa semalam, tiba-tiba suatu hari, setelah lama sekali absen, Obed nongol di kelas. Sontak sang Ibu Guru yang mengambil les mengetes pengetahuan Obed:
“Apakah kamu kenal Albert Einstein?”
“Mana Obed tahu nama beken ini, si penemu atom.”
Kata ibu Guru: “Kalau kau tak kenal Einstein, apakah kau kenal James Watt?” Ini penemu listrik yang diabadikan namanya dalam istilah pelistrikan.
“Siapa pula ini?”, Obed membatin, karena memang tidak kenal!
Ibu Guru mulai agak marah dan mengajukan pertanyaan berikut: “Kalau begitu, kau kenal Ki Hajar Dewantara?”
Obed juga mulai penasaran campur jengkel, dan berteriak: “Mana saya kenal? Memangnya siapa gerangan orang itu?”

Ketika sang Guru sungguh naik pitam karena ketidaktahuannya, Obed pun memperlihatkan rasa kesalnya.
Ia pun balas berteriak: “Apakah Ibu kenal Martha Ateta, Anus Frabun, dan Octo Inanosa?”

Ibu Guru menimpali: “Mana saya tahu orang-orang itu?”
Obed pun berdalih, dengan kecerdikan anak-anak rada nakal: “Makanya Ibu, Ibu punya kenalan, jangan paksa saya kenal. Buktinya saya punya kenalan, Ibu juga tra kenal!”

Sebagaimana halnya setiap cerita banyolan yang konyol seperti ini, kisah Si Cerdik Obed setidaknya mengandung 2 (dua) pesan moral bagi saya.

  1. Adalah kecenderungan manusiawi, tidak terkecuali anak-anak, untuk berusaha membenarkan diri, meskipun jelas-jelas salah! Inilah yang namanya yustifikasi alias pembenaran-diri dalam sebuah mekanisme beladiri yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai self-defense mechanism. Mekanisme bela diri seperti ini pada orang-orang dewasa biasanya lebih besar. Pada tataran intelektual, inilah ‘penyakit’ orang-orang pintar, inilah ‘penyakit’ orang-orang yang tidak pernah mau mengaku salah.
  2. Pesan moral kedua, lebih gamblang: itulah kisah tipu-tipu! Lantaran sudah terpojok karena ketahuan jelas belangnya sebagai si pemalas-sekolah, tokoh Obed pun berbohong dengan ‘cara’-nya tersebut di atas. Semua kita rasanya dengan mudah dapat menangkap pesan moral yang kedua dari kisah Si Cerdik Obed, yakni lebih baik jujur-jujur saja daripada bertopeng dengan tipu muslihat!

Dirumuskan sejalan seperti di atas: proses menjadi sarjana, apalagi proses menghayati kesarjanaan mestinya dilandasi kejujuran belajar dan ketulus-ikhlasan mengabdi! Gelar kesarjanaan niscaya diaraih dengan perjuangan kerja keras, bukan dengan penipuan di atas kertas. Sekian dan terima kasih, Tuhan memberkati!

+ H.Datus Lega
Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong
Papua Barat

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version