“AH… berita buruk apa lagi yang akan dia bawa kesini?” begitu reaksi seorang teman ketika seseorang yang sudah amat dikenalnya datang hendak berkunjung.
Kemudian muncul julukan baru “Mbokde Sarem. Untuk orang itu sekedar bahan lelucon, namun sekaligus cara membentengi diri agar tidak termakan negative energy yang mugkin akan didengarnya.
“Mbokde Sarem” adalah sebutan salah satu tokoh dalam serial Mbangun Desa yang disiarkan beberapa puluh tahun silam di salah satu stasiun televisi. Kata sarem berasal dari bahasa Jawa yang artinya garam.
Kita tahu, rasa garam adalah asin dan fungsinya untuk memberi rasa pada makanan agar tidak hambar.
Dalam kitab Suci, ada ungkapan “Jadilah garam dunia”. Maksudnya agar kehadiran murid-murid Yesus memberi pengaruh yang baik bagi lingkungan sekitarnya.
Namun tokoh Mbokde Sarem yang dimaksud dalam serial Mbangun Desa itu menggambarkan sosok wanita yang selalu menebar berita buruk. Di mana ia bertemu orang, pasti akan ada berita buruk tentang orang lain yang dia wartakan.
Bagi orang-orang yang sepaham dengan Mbokde Sarem, warta yang disampaikan menjadi sebuah perbincangan yang hangat, dipenuhi canda tawa, meskipun yang dibicarakan cenderung menghakimi seseorang dan memprovokasi.
Seolah-olah Mbokde Sarem ini menjadi sumber berita yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, namun sering dinanti-nantikan berita terbarunya. Bisa dipastikan, kebanyakan yang diberitakan sangat berbeda dengan kenyataan.
Yang terjadi kemudian adalah suasana menjadi tidak nyaman, saling menuduh dan dipenuhi prasangka buruk. Sosok yang diberitakan akan menjadi semakin terpojok, dijauhi oleh orang-orang tertentu, sementara Mbokde Sarem dan orang yang sepaham dengannya menjadi puas.
Dalam kisah itu, biasanya yang menjadi korban adalah orang-orang jujur, pendiam, pekerja keras, memiliki banyak kemampuan dan yang memilih menggunakan waktu untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Toxic people vs. positive vibes
Akhir-akhir ini ada istilah baru: toxic people.
Itu saya dengar dari anak-anak yang saya temani dalam retret pendampingan kaum muda ( anak-anak dan remaja) di Rumah Retret Syalom Bandungan, Ambarawa, Kabupaten Semarang.
Setelah saya mendengarkan ungkapan-ungkapan mereka baik saat di ruang pertemuan maupun saat wawan hati secara pribadi, secara sederhana, saya menangkap, toxic people adalah orang yang beracun atau memberikan dampak buruk terhadap orang lain, terutama terhadap psikis.
Tantangan nyata saat ini tidak hanya untuk kaum muda, namun menyeluruh; baik anak-anak, remaja maupun dewasa adalah melawan budaya menebar toxic yang dimulai dari diri sendiri.
Doa Pendamaian
Salah satu sesi dalam retret kaum muda untuk membantu agar terbebaskan dari toxic dalam diri adalah Doa Pendamaian.
Dalam Doa Pendamaian ini ada momen di mana para peserta diajak untuk mengeluarkan kepedihan, rasa sakit, penyesalan dan kerinduan yang selama ini tersimpan dalam diri.
Setelah itu diakhiri dengan menulis surat untuk orangtua.
Ada beberapa reaksi dari anak-anak ketika menulis surat. Ada reaksi menulis dengan serius, mengalir dalam mengungkapkan isi hatinya baik postif maupun negatif.
Namun ada juga yang ragu-ragu untuk menulis, karena ia merasa suratnya akan menjadi bahan tertawaan orangtuanya, atau orangtuanya tidak akan peduli.
Biasanya saya kemudian memberi motivasi agar tetap menulis dan berharap agar apa pun yang terjadi biarkan Tuhan yang bekerja.
Saya jadi teringat, beberapa tahun yang lalu, ketika saya berada dalam ruang pengakuan dosa. Saya ungkapkan seluruh kepedihan, kecenderungan diri yang melemahkan diri saya; juga dosa-dosa saya.
Bapa Pengakuan kemudian memberi arahan agar saya menulis surat kepada sosok-sosok yang dalam arti tentu “mengganggu” hidup saya.
Bapa Pengakuan menangkap ungkapan hati saya yang terus-menerus muncul, saat saya rutin mengaku dosa adalah luka batin.
Saya bertanya mengapa disebut ‘menggangu’ hidup saya.
Jawabannya sederhana. “Karena energi yang saya terima dari sosok-sosok itu baik secara langsung maupun melalui pemberitahuan orang lain sudah merasuk ke dalam diri saya dan menjadi energi negatif yang bisa merusak diri saya”.
Saya menjadi memahami. Menulis surat adalah salah satu sarana mengeluarkan reaksi dari energi negatif yang terpendam dalam diri saya.
Saya tersadar ternyata isi surat yang saya tulis waktu itu mirip yang diungkapkan oleh anak-anak setelah Doa Pendamaian ini.
Ada ungkapan kesulitan memahami situasi dan peristiwa yang terjadi sehingga membuat sedih.
Ada ungkapan permohonan maaf dan harapan untuk berdamai. Apa reaksi yang terjadi kemudian?
Saya bersyukur ketika di antara mereka yang saya kirimi surat mendatangi saya dan mengulurkan tangan saat retret.
Namun ada juga surat yang saya tulis itu kemudian dijadikan bahan tertawaan. Saya ingat pesan bapa pengakuan, apa pun reaksinya biarkan Tuhan sendiri yang meneranginya dengan cara-Nya.
Saya diajak untuk membangun diri agar mengandalkan kekuatan Tuhan, hidup semakin hening sehingga tidak ada ruang lagi yang bisa dimasuki energi negatif yang pasti selalu ada di sekitar kita.
Akhirnya saya menjadi paham, energi negatif itu seperti racun (toxic), berupa kata-kata kasar, sindiran-sindiran merendahkan, hinaan dan ‘cap-cap buruk’ berdasarkan penilaian-penilaian yang ditunggangi oleh rasa iri hati, kebencian, persaingan dll.
Dan itu menular seperti virus yang menjangkiti diri kita yang tadinya pasif menjadi aktif. Tanpa disadari, kita pun bisa menjadi toxic people karena menyimpan rasa ingin balas dendam, menyimpan sakit hati, kebencian dan merasa diperlakukan tidak adil dll.
Maka kita harus selalu waspada dengan diri sendiri dan dengan rendah hati berani melihat diri sendiri terus menerus.
Masa Prapaskah
Masa Prapaskah, sering disebut sebagai masa “Retret Agung”.
Kita diajak untuk memasuki diri sendiri. Maka Masa Prapaskah menjadi masa yang tepat untuk mawas diri, introspeksi diri dan bertobat agar kita tidak terjebak oleh kecenderungan menjadi toxic people.
Kita sungguh patut bersyukur karena melalui Gereja, jiwa kita terus menerus diperbaharui dan diselamatkan. Melalui pelayanan Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat, kita memperoleh sumber kekuatan untuk melawan budaya menebar toxic yang melemahkan jiwa kita maupun sesama kita.
Kita pun akan memancarkan positive vibes, yaitu energi positif yang membuat orang-orang di sekitar kita bisa mendapatkan aura positif yang bermanfaat.
Senyuman, sapaan sederhana dan bahasa tubuh yang memancarkan kasih Allah akan menjadi daya ilahi yang menggetarkan banyak jiwa menjadi terselamatkan.
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran.” (1 Korintus 13: 4-6)
Video berikut ini adalah ajakan untuk memohon ampun dan ajakan untuk mengandalkan kekuatan Tuhan agar kita dimampukan untuk hidup dalam kasih.
Menjadi penebar positive vibes.