KALAU menemukan Lampu Aladin, dan mendapat kesempatan untuk mengajukan tiga permintaan yang pasti dikabulkan, saya akan mengajukan permintaan yang sama.
Saya akan mengulangnya sebanyak tiga kali, sekedar memastikan bahwa permintaan itu akan benar-benar diluluskan.
Biar saja kehilangan dua kesempatan lain, asal keinginan itu dapat terwujud. Tambahan lagi, seandainya yang satu itu terkabul, maka keinginan-keinginan yang lain, dengan sendirinya akan terpenuhi.
Tapi permintaan apa yang saya gadang-gadang itu?
Ia adalah: “Keinginan agar rasa membenci hilang dari dalam diri saya.”
Untung segera siuman. Kisah Lampu Aladin adalah mimpi belaka. Tak ada sesuatu, sehebat apa pun, yang mampu mengabulkan permintaan seseorang. Apalagi, sampai tiga kali.
Rasa benci hanya bisa dikikis dengan kesadaran diri dan berlatih, tahap demi tahap. Silakan pelajari dari ahlinya, atau cari sumbernya. Prosesnya tidak sak deg–sak nyet. Memanjakannya dalam alam pikiran, justru membesarkannya.
Yang membuat termenung adalah sederet pertanyaan yang mengganggu kedamaian saya.
Mengapa rasa benci dapat tumbuh subur? Mengapa harus membenci orang atau kelompok lain? Mengapa benci semakin menghantui masyarakat kita?
Kata “benci” mempunyai banyak saudara dekat. Sebut saja “dendam”, “iri”, “dengki”, “sakit hati”, dan “antipati”.
Bahasa-bahasa daerah mempunyai sederet sinomim sebagai tanda bahwa ia sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Kebencian yang dipelihara, apalagi ditumbuh-kembangkan, sejatinya menjadi senjata makan tuan. Perlahan tapi pasti, menikam diri sendiri. Semakin lama semakin merobek-robek tubuh dan jiwa kita.
“Kebencian menguras energi otak. Benci membuat otak menguras energi sebagai kompensasi kebencian. Itu membuat otak tumpul, tak bisa berpikir tajam. Akibatnya, mereka yang membenci sulit berpikir dan bertindak adil”. (Kompas, 29 Januari 2017, Taufiq Pasiak, Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi)
Peneliti kesehatan mengungkapkan bahwa kebencian menyuburkan penyakit. Orang yang memendam rasa benci, seperti membuka pintu lebar-lebar agar penyakit masuk ke dalam dirinya. Ia menjadi tuan rumah yang baik, sambil menyilakan musuh-musuh itu menghampirinya dengan lebih mudah.
Mudaratnya membenci banyak diketahui orang. Namun, membenci masih banyak dilakukan, baik oleh individu mau pun kelompok. Saya termasuk di dalamnya. Komunitas yang lebih besar, tak jarang mengerek bendera kebencian secara kolektif dan masif.
Membenci sering keluar irasional dengan tingkat subyektifitas yang kental. Tak perlu mengetahui apa dan siapa sejatinya objek yang dibenci, tapi serangan kebencian kadung ditembakkan dengan gencar. Bahkan setelah sadar kalau keliru, benci sulit ditarik kembali.
Rasa benci juga dapat merembet kemana-mana. Apa saja yang berbau korban kebencian, langsung kena tikam. Pasti tak masuk akal, tapi itulah yang terjadi. Pasti tak rasional, tapi dilakukan juga oleh banyak orang pandai yang mengaku bermartabat.
Benci mengakibatkan kebutaan. “Terlanjur benci” bukan hanya judul lagu saja, tapi juga kebiasaan orang yang lebih mengedepankan emosi ketimbang rasio. Sikap terlalu mencintai dirinya ketimbang kebenaran.
Alasan sahih tak perlu ada, fakta tak perlu dikorek. Yang penting, korban harus dibenci dengan rentetan tindakan yang arahnya bisa kemana-mana. Keputusannya pasti salah. Pilihannya pasti keliru, pantas dikecam dan dicerca. Semua lorong untuk menuju keadaan yang lebih baik tertutup rapat-rapat.
Meski sistimatika proses kebencian dipahami dengan baik, lengkap dengan konsekuensi yang harus dipikul, masih juga (sangat) sulit untuk membuangnya. Padahal, pada dasarnya orang ingin bahagia, ingin berprestasi, ingin dikasihi dan mengasihi, sementara penghalang yang menghadangnya, yaitu rasa benci, digenggam erat-erat dan enggan dilepaskan.
Tiba-tiba teringat ceramah seorang pemuka agama yang terngiang-iang di gendang telinga saya. “Apakah dengan membenci seseorang, seraya mengecamnya, dia bisa berubahnya?”
Jawabnya: “Tidak”. “Apakah dengan mendoakan seseorang yang kita benci, dia bisa berubah?”.
Jawabnya: “Sangat mungkin, bila Tuhan mengabulkannya”.
Lantas, mengapa kita tidak memilih cara kedua?.
Seorang kawan menasehatkan cara lain. Menghilangkan rasa benci dengan membawanya ke anah rasionalitas. Susun neraca untung-rugi, agar jelas bahwa membenci tak bermanfaat. Tak juga bisa menghancurkan yang dibenci. Ia malah mengundang banyak penyakit masuk ke jiwa dan raga dan membunuh pelaku kebencian, cepat atau lambat.
“Resentment is like drinking poison and then hoping it will kill your enemies”. (Nelson Mandela)