Home BERITA “Seandainya Aku Jadi Kamu”

“Seandainya Aku Jadi Kamu”

0
Ilustrasi - topeng. (Ist)

“Kata-kata baik bisa diucapkan dengan singkat dan mudah, namun gemanya akan tidak berakhir.” Ibu Teresa dari Calcutta

Pergulatan hidup bersama Tuhan

Saat-saat awal saya melaksanakan tugas di Rumah Retret Syalom di Bandungan, Kabupaten Semarang ini, saya memberanikan diri bertanya kepada seorang imam dalam ruang pengakuan dosa.

Begini kata saya waktu itu, “Mengapa tulang paha saya bisa patah, padahal waktu itu  saya baru saja selesai visitasi di hadapan sakramen Maha Kudus? Apakah doa saya salah Romo?”

Kemudian saya mengisahkan peristiwa menjelang saya cidera di tulang paha. Saya ingat betul kejadian sakit pada sore itu. Saya pulang dari sekolah.

Seperti biasa, sepulang dari kegiatan saya selalu berkanjang berdoa di hadapan Sakramen Maha Kudus. Entah mengapa saat itu, yang ada dalam benak saya adalah bayangan Yesus di Taman Getsemani.

Dalam doa saya  ada ungkapan Yesus yang saya tiru, “Tuhan sebetulnya aku…, namun aku mohon agar kehendak-Mu saja yang terjadi atas diriku.”

Ilusttrasi: Awas Jangan Jatuh.

Saat itu airmata saya mengalir deras, membayangkan Yesus yang ketakutan seperti yang aku rasakan. Setelah tenang, saya keluar dari kapel, hendak menuju kulkas untuk melihat bahan sayuran yang akan saya masak.

Namun baru beberapa langkah keluar dari kapel, saya terpeleset karena menginjak beberapa tetesan air; persis di sebelah meja makan. Tulang paha saya remuk.

Beberapa hari kemudian saya mendapat kiriman renungan dari pembimbing rohani itu; bicara tentang kisah saat Yakub bergulat dengan Allah dengan ucapan “Proficiat ya suster, karena  telah memenangkan pergulatan bersama Allah”.

Spontan saya tertawa membaca pesan itu. Kata hati saya, “Mana mungkin saya seperti Yakub. Saya justru seperti penjahat yang diremukkan kakinya saat di salib bersama Yesus”.  

Maka kemudian saya jawab sambil bercanda, “Saya pendosa Romo dan ingin bertobat. Saya mohon doanya”. 

Namun saya akhirnya merenungkan kisah Nabi Yakub itu.

Saya menjadi tertarik dengan kisah hidup Yakub yang penuh dengan liku-liku kehidupan. Saya seperti merasakan  semua peristiwa yang dialami Yakub yang akhirnya menuntunnya untuk menyadari dan menerima  kelemahannya.

Setelah Yakub bergulat dengan “sosok penuh misteri”, Yakub menjadi pincang.

Kepincangannya menjadi bukti tentang kelemahannya, tetapi sekaligus kemenangannya. Itu karena Yakub akhirnya menyadari, memahami, menerima kenyataan dirinya  dan menyandarkan sepenuhnya pada belas kasih Allah.

Saya menemukan, ternyata kemenangan kita adalah saat kita menyadari dan menerima kelemahan diri dengan lapang dada.

Dan saat  kita sedang berada di titik paling rendah kemudian dengan penuh kesadaran menerimanya sebagai jalan perjumpaan dengan Tuhan, di situlah kita sebetulnya telah menikmati kehadiran Allah dan kekuatan-Nya.

Ilustrasi – Kelemahan manusiawi (Strengths and weaknesses)

Santo Paulus menyerukan “…ketika kita lemah, kita kuat (2Kor 12:10). Dalam kelemahan kita, kuasa Kristus menjadi sempurna. (2Kor 12:10).

Selain itu,  dengan menerima titik terlemah diri kita, akhirnya kita akan menerima ‘kemenangan istimewa’ yaitu rasa empati – rasa di mana kita menempatkan diri sebagai orang lain yang sedang ditimpa kesusahan.

Dengan begitu, kita pun tidak akan mudah melemahkan orang lain yang sedang mengalami sakit dan situasi sulit karena kita pernah mengalaminya. Jika kita merendahkan dan menghakimi  sesama -terutama yang sedang berkesusahan- sebetulnya kita sedang merendahkan dan menghakimi dirinya sendiri.   

Ilustrasi: Cinta Tanahair Indonesia dengan melantunkan lagu nasional “Padamu Negeri” (Romo Titus Jatra Kelana Pr)

Kerinduan akan tanahair sejati

Betapa indahnya tanahair kita, jika para penghuninya memiliki empati: ‘Seandainya aku jadi kamu’ dalam bersikap, bertutur kata, dan mengambil tindakan atas sesama kita.

Orang Jawa menyebutnya dengan istilah ‘tepo slira’. Dengan demikian kita sudah mencicipi “Kerajaan Allah sebagai tanahair sejati” yang selalu kita mohon dalam doa Bapa Kami: “… Datanglah Kerajaan-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga…”

Tanahair kita akan dirajai oleh sifat-sifat Allah sendiri sehingga  tidak ada orang yang merasa tersakiti oleh kata-kata kita. Kata-kata baik yang kita ucapkan dengan ketulusan hati akan memerdekakan suasana dan gemanya tidak akan berakhir.

Tantangan perjumpaan nyata di era digital

Saya lalu teringat nasihat  salah satu pembimbing rohani yang biasa menemani retret.  Nasihat itu saya bagikan juga kepada peserta retret kaum muda yang saya temani yaitu tentang tantangan manusia di dunia modern.

Manusia  saat ini cenderung  semakin asing  dengan dunia nyata, karena saking pesatnya kemajuan teknologi yang terus-menerus menuntutnya agar menyesuaikan perkembangan zaman. 

Manusia  mudah kehilangan rasa empati, yaitu rasa “seandainya aku jadi kamu”, karena lebih merasa sudah cukup puas  hidup di dunia maya dengan  mengabaikan perjumpaan nyata.   

Orang yang kehilangan empati biasanya akan tampak dalam sikap egois dan mau menangnya sendiri. Segala sesuatu diukur dengan persaingan. 

Maka kebiasaan minta tolong dan berterimakasih tidak mudah untuk dipahaminya.

Ilustrasi: berkomunikasi dengan santun. (Ist)

Demikian juga tutur kata dan sikapnya cenderung menyakiti orang di sekitarnya  tanpa disadarinya. Oleh karena itu, tantangan bagi kita saat ini adalah jika mau semakin berani masuk di dunia maya.

Kita juga harus semakin berani ‘turun, mendarat’ dengan menghidupi perjumpaan-perjumpaan nyata dengan sesama, terutama mereka yang lemah, miskin, difabel, tersingki,r dan membutuhkan pertolongan.

Tujuannya adalah agar rasa belas kasih Allah dalam diri kita tetap hidup dan bertumbuh. Maka kita pun tidak akan kehilangan rasa empati terhadap sesama.

Video berikut ini saya persembahkan untuk tanahair tercinta: Tanahair Indonesia.

Semoga di era digital ini, kita  tetap dimampukan untuk  menangkap kehadiran Allah yang penuh belas kasih terutama melalui yang lemah, tersingkir, dan difabel.

Dengan begitu, kita bersama akan selalu mengalami kemerdekaan sejati, karena kita dibebaskan dari belenggu dosa yang melemahkan.

“Rabi siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya sehingga ia terlahir buta?”

Jawab Yesus, “Bukan dia dan bukan orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yohanes 9:2-3).

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version