Home LENTERA KEHIDUPAN Sejenak Bijak Bersama “The Happy Prince” (1)

Sejenak Bijak Bersama “The Happy Prince” (1)

0

APA jawabanmu kalau sekali waktu ada orang bertanya demikian. Barang apa yang paling indah di dunia ini? Spontan akan muncul berbagai jawaban. Taruhlah itu ada yang menjawab:  Menara Eifel, Basilikia Santo Petrus di Roma, butiran mutiara produksi Laut Seram, atau malah deposit minyak bumi tak terkira di Kutub Utara..

Malaikat pun akan punya jawabannya sendiri, ketika hal sama ditanyakan Tuhan kepada mereka. Oscar Wilde, penyair dan pengarang Inggris terkemuka kelahiran Irlandia, juga punya resepnya sendiri guna menjawab pertanyaan itu. “Seekor burung walet dan sebuah hati timah yang retak,” tulisnya dalam sebuah cerpen bertitel The Happy Prince (1888).

Kok begitu jawabnya?

Tak kenal susah

Alkisah, ada seorang pangeran muda yang seumur-umur tidak mengenal arti susah. Ia hidup dalam suasana serba berkelimpahan, bahkan mewah. Hidup dimanjakan oleh berbagai kenikmatan dan limpahan makan minum, pangeran muda ini menikmati hari-hari serba aman dan nyaman di balik tembok istana, terpisah dari dunia luar.

Tapi, ajal menjemput sang pangeran ketika umurnya masih sangat muda. Tak berapa lama berselang, pemerintah kota membuat patung tembaga untuk mengenang dia. Agar mudah dikagumi oleh seluruh penduduk negeri, maka patung tembaga itu sengaja diletakkan pada ketinggian, memudahkan orang melihat dari segala penjuru kota.

Mutu kreasi seni patung tembaga itu boleh dibilang indah. Mata sang pangeran dibuat dari batu safir. Sebuah batu ruby besar dipasang untuk menghiasi mata pedangnya.  Lapisan emas murni menutupi seluruh postur tubuhnya hingga tampak berkilauan. Begitu nan elok hingga membetot perhatian setiap pelalu-lalang yang melintasi lokasi penempatan patung tersebut.

Si walet kecil

Nun tak jauh di sana, ada seekor burung walet yang tengah  mabuk asmara terhadap sebatang ilalang di rawa. Setiap kali berhembus angin, maka ilalang ini akan bergerak-gerak  seakan menari-nari mengikuti irama alam. Di awal musim semi, ayunan ilalang tersebut begitu indah dipandang hingga tak ayal walet pun berani “nembak” –katanya—“Maukah engkau menjadi kekasihku?”.

Lantaran diterpa angin sepoi, maka ilalang pun berayun seakan mengangguk, tanda menyanggupi ajakan sang burung walet. Maka, sepanjang musim semi dan berlanjut ke musim panas, tanpa putus si walet berterbangan mengitari sang ilalang. Aman, mesra berdekatan dengan sang kekasih.

“Itu bukan pasangan yang cocok buatmu. Tidak punya uang dan juga terlalu banyak anggota keluarganya,” teman-teman waletnya mengingatkan. Rawa tersebut memang dipenuhi oleh gerombolan ilalang.

Ketika musim gugur mulai datang, rombongan walet siap bergerak migrasi ke arah Selatan mencari lokasi yang lebih hangat. Namun, tak demikian dengan si walet yang tengah mabuk kepayang ini. Dia memilih tetap tinggal, berterbangan sana-sini mengitari sang ilalang membujuk sang kekasih pergi bersamanya. Tak ayal, dia pun segera ditinggal migrasi oleh teman-temannya.

Akhirnya lelah juga dia menunggu sang ilalang mau ikut terbang bersamanya ke selatan. Apalagi terbersit curiga di hatinya akan kesetiaan sang ilalang yang suka main mata dengan sang angin. Oh, betapa sedih hatinya setiap sang ilalang dengan genit mengerling dan menanggapi sapaan angin, sampai akhirnya dia memutuskan ikatan cinta mereka dan mengucapkan selamat berpisah kepada sang mantan kekasih.

Ia lalu ikut terbang ke Selatan, menyusul teman-temannya yang telah migrasi ke Selatan enam pekan sebelumnya. Dalam perjalanan menuju ke Selatan ini, si walet memutuskan istirahat sejenak. Nah, di kaki patung sang pangeran inilah, si walet mendapatkan pijakan untuk beristirahat.

Ia bermalam di kaki sang pangeran, sembari menikmati indahnya kota. “Tempat tidurku pun terbuat dari emas,” begitu pikir si walet dengan gembira.

Belum lama ia hanyut dalam sebuah lamunan, dia dikejutkan oleh jatuhnya rintikan hujan. Dia makin bingung, ketika di atas langit penuh bintang namun kok ada tetesan air membasahi seluruh tubuhnya. Si walet mendongak ke atas dan terkejutlah dia karena tetesan itu tak lain adalah tetesan air mata sang pangeran. (Bersambung)


NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version